Quantcast
Channel: Universitas Negeri Yogyakarta - Leading in Character Education
Viewing all articles
Browse latest Browse all 3541

KETIKA JAUH DARI RUMAH

$
0
0

Hari pertama berkunjung ke sekolah, hilang sudah bayangan saya mengenai sekolah tempat tugas yang pernah saya bayangkan. Gedung sekolah, sarana dan prasarana masih lebih baik dari yang ada di bayangan saya. Hanya mungkin kompleks gedung sekolah yang kurang begitu tertata dan buku-buku pelajaran yang tidak cukup tersedia. Hewan peliharaan seperti sapi pun sering masuk wilayah lingkungan sekolah sehingga tak jarang sebelum sekolah dimulai, guru-guru beserta murid membersihkan kotoran sapi di teras atau kotoran sapi yang dibuang sembarangan di dalam kelas terlebih dahulu.

Demikian ungkap batin Dwi Harto, seorang guru SM3T Universitas Negeri Yogyakarta yang ditempatkan di SDN 10 Terangun, Kampung Bukut, Gayo Lues, Aceh. Berjarak 7 km dari pusat Kecamatan Terangun, jumlah siswa di sekolah ini 43 orang dari kelas I sampai dengan kelas VI. Di Kampung Bukut ini ada 2 sekolah dalam satu kampung, sehingga muridnya pun harus dibagi dua. Satu sekolah lagi adalah Madrasah Ibtidaiyah yang terletak di ujung kampung. “Saya mengampu mata pelajaran Pendidikan Jasmani di SDN 10 Terangun,” kata Dwi Harto. Karena jumlah murid yang terlalu sedikit, maka jadwal mata pelajaran penjas pun dipadatkan menjadi hanya dua hari saja.

Hari Jum’at untuk Kelas III, IV, V, dan VI digabung dalam satu waktu, kemudian hari Sabtu untuk Kelas I dan  II. Pada hari lain Dwi Harto berperan sebagai guru serabutan, di mana ada kelas yang kosong maka dialah yang mengisi kelas tersebut. Uniknya, justru dengan mengisi kelas yang kosong itu membuat Dwi menjadi lebih sibuk dari guru yang lain, karena setiap hari pasti ada satu atau dua kelas yang kosong ditinggal gurunya entah ke mana.

Alumni Jurusan Penjasorkes UNS Surakarta tersebut baru menyadari mengapa Gayo Lues dijadikan sebagai daerah tujuan 3T setelah bertugas di SDN 10 Terangun. Menurutnya, selain karena Gayo Lues sendiri adalah daerah terpencil, terletak di pedalaman Sumatera yang sulit dijangkau, juga karena kurangnya tenaga pendidik yang profesional.

“Di sekolah ini hanya ada 2 guru PNS dan 4 guru bakti atau kontrak daerah,” katanya. Dilihat dari jumlah dan waktu kehadiran, jarang sekali keenam guru tersebut hadir secara bersamaan dalam satu hari. Dalam satu minggu seperti ada jadwal shift sendiri bagi guru-guru untuk masuk sekolah. Keterlambatan 30 menit atau lebih seperti sudah menjadi hal yang wajar. Setelah sampai di sekolah pun, seorang guru yang datang sampai di sekolah entah itu tepat waktu atau tidak tepat waktu pasti masuk kantor terlebih dahulu.

Di kantor biasanya ngobrol, sambil menghisap satu atau beberapa batang rokok. Tidak jarang pula ada guru yang datang ke sekolah sekedar presensi setelah itu tidak masuk kelas.  Dengan demikian proses pembelajaran memang tidak kondusif. Justru karena hal itulah, para sarjana didatangkan dari tempat yang jauh untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan yang menyimpang itu.

Menurut Dwi Harto, perbedaan bahasa dan budaya bukanlah suatu hal yang bisa dipermasalahkan untuk bisa saling memahami. “Justru karena perbedaan itulah saya pribadi merasa lebih menyenangkan mengajar mereka, sambil saya sendiri juga belajar,” kata Dwi. Interaksi dengan murid yang kadang terasa ganjil kerena mereka berbicara dengan bahasa Gayo tidak jarang terjadi, umumnya adalah mereka siswa-siswi kelas I SD yang belum begitu pandai berbahasa Indonesia.

Dengan segala keterbatasan sarana dan prasarana serta kurangnya perhatian dari orang tua mereka tentang pendidikan mereka, mereka tetap semangat belajar. Warga Desa Mojoroto, Kelurahan Jatinom, Kecamatan Sidoharjo, Wonogiri tersebut mengatakan bahwa kebanyakan orang tua siswa-siswi SDN 10 Terangun adalah petani serai, coklat, cabai atau pun petani nilam yang lebih banyak menghabiskan waktu mereka di ladang untuk mengurus tanaman mereka daripada menghabiskan waktu mereka di rumah untuk berkumpul bersama anak-anak mereka.

Tak jarang petani di daerah sini menginap berhari-hari di kebun, dan baru pulang ketika hari Jum’at untuk melaksanakan salat Jum’at berjama’ah di masjid. Tak heran apabila perkembangan anak-anak di daerah ini kurang terarah. Hingga di sekolah terkadang siswa sering membuat ulah atau kenakalan-kenakalan yang bisa dikatakan konyol dengan tujuan agar mereka diperhatikan guru.

Salahkah mereka? Tidak. karena anak-anak di manapun pasti membutuhkan perhatian dari orang tua. Dan di sini mereka tidak mendapatkan hal itu dari orang tua mereka. Sesulit atau seindah apapun itu, sebagai sarjana abdi negara tidaklah boleh patah arang menghadapi semua keterbatasan. (dedy)

Label Berita: 

Viewing all articles
Browse latest Browse all 3541

Trending Articles