Kebijakan sosial di Indonesia masih kurang diperhatikan. Indonesia masih mementingkan kebijakan ekonomi. Di negara maju yang lebih diperhatikan adalah kebijakan sosialnya daripada kebijakan ekonominya. Di Indonesia, 90% uang yang berputar dikuasai oleh beberapa orang yang berkuasa saja. Secara makro, Indonesia lebih mengistimewakan kelas kapitalis sehingga terdapat gap (kesenjangan) yang cukup besar antara si miskin dan si kaya.Demikian disampaikan oleh Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan, Dr. Revrisond Baswir, pada Seminar Nasional “Inovasi Social Policy dalam Mewujudkan Kesejahteraan yang Membumi”, yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta (Hima IAN FIS UNY), bertempat di Kantor Pusat Layanan Terpadu Fakultas Teknik UNY. Seminar yang dibuka oleh Dekan FIS, Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M.Ag, juga menghadirkan Kepala Dinas Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta, Drs. Sulistyo, SH, CN, M.Si. Seminar ini juga dihadiri oleh dosen dan sekitar 200 mahasiswa Program Studi Ilmu Administrasi Negara FIS UNY.Lebih lanjut Revrisond mengatakan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial, kita harus mengetahui sejarah negara kita terdahulu, sehingga kita bisa mengambil langkah kebijakan sosial yang tepat untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial yang ada. Dari dulu sampai sekarang sama saja. Bangsa kita tetap dijajah. Bedanya sekarang yang dijajah adalah pola pikir bangsanya. Kaum kapitalis menguasai negara Indonesia sehingga para investor asing sebagai pemilik modal lebih diuntungkan dan rakyat belum mendapatkan kesejahteraannya secara utuh.Revrisond Baswir mengatakan jika inovasi kebijakan sosial harus dilakukan dengan hati-hati dan sesuai dengan nilai-nilainya serta aspek historisnya agar tidak menyebabkan kebijakan tersebut berubah arah atau bahkan akan menyebabkan ‘senjata makan tuan’. Terkait dengan CSR (Corporate Social Responsibility), Revrisond mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan sudah mulai memikirkan kesejahteraan sosial masyarakat melalui CSR tersebut. Sebaliknya tentang kebijakan distribusi, dianggap kurang berpihak pada masyarakat kecil karena implementasi pada kebijakan tersebut tidak berjalan dengan baik.Sejalan dengan hal tersebut, istilah kesejahteraan social (social welfare), menurut Sulistyo, kini telah banyak disalahgunakan. Walaupun pada awalnya istilah ini memiliki arti yang sangat mulia dengan merujuk lebih luas pada keadaan yang baik, kebahagiaan, dan kemakmuran, tetapi kini banyak orang yang menyamakannya dengan istilah kegiatan amal atau bantuan publik yang dilakukan pemerintah bagi keluarga miskin dan anak-anaknya.Hal ini disebabkan karena kebijakan sosial selama ini tidak menyelesaikan masalah secara tuntas, tetapi hanya menyelesaikan masalah di permukaan saja. Situasi itu menimbulkan anggapan bahwa welfare state sudah melenceng dari makna yang terkandung, dan masyarakat terlalu bergantung pada negara. Padahal prinsip kesejahteraan adalah untuk memberi motivasi pada masyarakat agar dapat tumbuh dan dapat menyelesaikan masalah-masalah yang muncul di lingkungannya.Sulistyo juga menjelaskan good will atau perhatian pemerintah sudah terlihat dari adanya berbagai Undang-undang, PP/Kepmen/Permen, Perda/Pergub yang terkait dengan penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Agar kebijakan sosial tersebut bisa berjalan dengan baik dibutuhkan suatu kesadaran dari masyarakat, terutama masyarakat yang kaya atau golongan borjuis agar mau berbagi kepada masyarakat yang kurang mampu.Di sisi lain, pemerintah juga harus memfokuskan perhatian untuk merealisasikan kebijakan sosial tersebut ke arah yang lebih baik. Kebijakan sosial nantinya akan mengurangi ketimpangan antara si kaya dan si miskin sehingga diharapkan masyarakat yang sejahtera bakal terwujud, tegas Soelistyo. Partisipasi masyarakat menjadi sangat penting dalam hal ini karena pelaksanaan kebijakan tidak mungkin dapat dilaksanakan hanya oleh negara saja.Peran masyarakat dalam hal ini dapat diwujudkan dengan cara mendampingi program yang diselenggarakan oleh pemerintah. Sebuah kebijakan dibuat untuk dapat menjadi solusi pemecahan dari permasalahan-permasalahan yang ada dilingkungan masyarakat. Jika tidak, sebuah kebijakan hanya akan menjadi sebuah peraturan-peraturan belaka, jelas Soelistyo mengakhiri uraiannya. (lensa)
↧