Sebagai salah satu guru SM3T (Sarjana Mendidik Di Daerah Terdepan Terluar Tertinggal), Dwi Irawati harus siap ditempatkan di mana saja. Peserta SM3T dari LPTK UNY tersebut ditempatkan di Kampung Boha sebuah kampung di pesisir Sungai Bian, Kabupaten Merauke, Papua. Dwi mengisahkan bahwa perjalanannya ke Boha harus menempuh perjalanan darat selama 5 jam dari Kota Merauke dilanjutkan menyusuri sungai dengan menggunakan ketinting selama 2 jam. “Ketinting adalah perahu panjang dengan lebarnya hanya memuat satu orang saja” kata Dwi “Perjalanan menggunakan ketinting cukup menegangkan, karena dengan sedikit pergerakan saja dapat membuat perahu oleng”.
Alumni Prodi Pendidikan Matematika FMIPA UNY tersebut mengajar di SD YPPK Santa Lukas Boha. Sekolah ini tak berpagar dan memiliki enam ruang kelas, namun tiga ruangan kelas tidak dapat digunakan karena sudah tidak layak. Tiga ruangan kelas yang lain digunakan secara rangkap, kelas satu dengan kelas dua, kelas tiga dengan kelas empat, dan kelas lima dengan kelas enam. “Biasanya keadaan yang demikian membuat siswa tidak fokus” katanya “Namun juga menguntungkan untuk mobilitas guru”. Sekolah ini sebenarnya mempunyai 11 guru, namun sebagian besar tidak hadir dengan berbagai alasan seperti sulitnya transportasi atau sulitnya air. Memang di kampung ini air menjadi problem tersendiri, terlebih pada saat musim kemarau masyarakat harus mengambil air dari sumur darurat yang digali di rawa yang mengering.
Gadis kelahiran Cilacap 20 Juni 1995 tersebut mengakui adanya beberapa kesulitan dalam menjalankan tugas utama sebagai pendidik di SD YPPK Santa Lukas Boha. “Diantaranya kurangnya tenaga pendidik, keterbatasan fasilitas, hingga kurangnya semangat orang tua dan anak untuk memprioritaskan pendidikan” tuturnya. Menurut Dwi banyak warga yang harus tinggal di luar kampung untuk bekerja pada perusahaan-perusahaan sawit Distrik Muting Merauke, sehingga anak-anak ikut serta dengan orang tua mereka. Beberapa anak melanjutkan sekolah di luar Boha, namun ada juga yang putus sekolah. Selain itu orang tua juga kerap membawa anaknya pergi berburu ataupun pangkur sagu ke hutan sehingga anak sering menghilang dari sekolah selama berhari-hari. Dari sekitar 70 siswa yang terdaftar, setiap harinya hanya ada sekitar 50% yang berangkat.
Warga Cilacap Jawa Tengah tersebut memaparkan bahwa siswa-siswa yang berangkat pun masih suka bermain-main saja ketimbang belajar. Sekitar jam 9 siswa sudah mulai mengeluh lapar dan mengantuk. Kemampuan siswa juga masih rendah dalam hal baca, tulis dan hitung (calistung), bahkan sebagian besar siswa belum bisa menghafal angka dan huruf. “Saya sebagai guru selalu mencari cara agar siswa tidak bosan” katanya “Maka pelajaran pada hari Senin sampai Kamis hanya seputar menghafal angka dan huruf, penjumlahan dan pengurangan sederhana, menulis, serta pengetahuan umum”. Sedangkan pada hari Jumat dan Sabtu kegiatan diisi dengan menggambar, mewarnai, olahraga dan pelajaran agama. Beberapa cara yang efektif untuk belajar calistung yaitu dengan menggunakan media pembelajaran berupa kartu huruf dan kartu angka, menggunakan gambar-gambar, kuis antar kelompok, dan tanya jawab karena pada dasarnya antusiasme siswa untuk menjawab pertanyaan sangat tinggi. Dwi berharap dengan adanya guru SM3T dapat membantu pendidikan di Kampung Boha serta dapat memberi kemajuan bagi dunia pendidikan di sana.(dedy)