Demi memperhatikan kebutuhan pendidikan yang telah mengglobal untuk isu-isu strategis dan tantangan saat ini, Prodi Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta (FIS UNY) telah mengawali rintisan kerjasama dengan dosen tamu dari Victoria University, Australia, Dr. Max Lane.
Dr. Max Lane adalah dosen Politics and International Studies, School of Social Sciences and Psychology, FAEHD, Victoria University, Melbourne. Ia mengisi mata kuliah Sejarah Politik dan Hubungan Internasional di Prodi Pendidikan Sejarah, FIS UNY selama 5 kali pertemuan (5—11/12/2012). Pertemuan pertama, Politik Luar Negeri Indonesia 1945—1965; kedua, Politik Luar Negeri Indonesia 1945—1965; ketiga, Politik Luar Negeri Indonesia 1965—1998; keempat, Politik Luar Negeri Indonesia 1965—1998: Timor Leste; dan kelima, Politik Luar Negeri Indonesia: Kasus Papua.
Awal kuliah dibuka oleh Max Lane dengan menerangkan tentang Pemerintah Belanda pada akhir menduduki Nusantara, membuat perjanjian dengan Australia untuk memindahkan tahanannya (tentang tahanan orang-orang pribumi yang melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Belanda) ke Australia. Sejumlah 507 tahanan dari Tanah Merah Digul (Boven Digul) di Syndey, Australia pada bulan Juni 1943 dengan kapal Both. Pada bulan Desember 1943, mereka bebas dari tahanan. Banyak dari mereka bergabung dengan sarekat buruh, seperti KPM–pelaut Sydney Indonesia Club. Mereka juga melakukan kampanye untuk kemerdekaan Indonesia. Bahkan mereka juga memboikot kapal-kapal Belanda yang berisi serdadu dan senjata untuk dikirim ke Indonesia (Agresi Militer).
Salah satu tokoh Indonesia yang cukup aktif dalam kampaye ini adalah Tukliwan. Publik Australia pro dan kontra terhadap kemerdekaan Indonesia. Kelas buruh dan publik biasa menjadi pro-merdeka sementara Partai oposisi (Liberal Party) dan masyarakat pendukungnya tetap pro-kolonialisme. Kampaye Tukliwan dan kaum buruh di Australia untuk kemerdekaan Indonesia cukup penting karena dukungan kemerdekaan kemudian juga diperoleh dari orang-orang India dan China di Australia. “Ini menjadi salah satu bukti bahwa hubungan internasional suatu negara juga ditentukan oleh publik,” ujar Max.
Antusiasme mahasiswa yang mengikuti mata kuliah ini cukup tinggi. Hal ini disebabkan proses pembelajaran juga cukup inovatif dan interatif misalnya, dengan pemutaran film dokumenter “Indonesia Calling” buatan sutradara Joris Ivens tahun 1940-an. Mata kuliah ini diikuti sekitar 140 mahasiswa FIS UNY, baik mahasiswa yang resmi mengambil mata kuliah Politik dan Hubungan Internasional maupun mahasiswa dari jurusan dan fakultas lain yang izin bergabung dalam kuliah ini.
Selain itu, mahasiswa juga aktif selama sesi diskusi. Hal ini menjadi kesan tersendiri bagi Max Lane. Mahasiswa di Indonesia sering berebut kesempatan di sesi tanya jawab. “Di Australia, mahasiswa apatis terhadap politik. Berbeda dengan mahasiswa 10 tahun yang lalu,” ujarnya. Max Lane sendiri mengatakan, “Kalau diundang lagi akan memilih UNY, karena dapat berdiskusi dengan para calon guru masa depan.”
Menurut Dekan FIS UNY, Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M.Ag., kerjasama Prodi Pendidikan Sejarah, FIS UNY dengan dosen-dosen dari Victoria akan terus berlanjut. “Tahun depan telah direncanakan workshop bersama untuk menelaah buku pelajaran sejarah SMA,” jelasnya (Rhoma/Eko)