Mahasiswa Prodi Biologi Reguler 2011, FMIPA UNY melaksanakan konservasi ke Turtle Education and Conservation Center (TCEC) di Serangan, Denpasar, Bali. Kegiatan ini dalam rangka studi ekskursi yang dilaksanakan baru-baru ini. TCEC merupakan wahana konservasi yang diprakarsai oleh sejumlah tokoh pelestarian lingkungan di Bali, WWF, dan pemerintah Provinsi Bali.
Dian Rahmawati, salah satu peserta studi ekskursi mengatakan telur penyu yang ditangkarkan di pulau Serangan ini berasal dari berbagai daerah seperti Jember, Kediri, Banyuwangi, dan Alas Purwo yang dibeli dari para nelayan. Biasanya pada bulan Desember, tukik didatangkan dari daerah Jember, Menubetiri (pantai Sukamade). Telur-telur ini tidak diperoleh secara gratis, melainkan dengan membeli dari penemu telur seharga Rp. 50.000,00 per butir. Penyu dapat bertelur hingga 100 butir telur dalam sekali bertelur. Telur-telur ini akan mengalami masa inkubasi selama 50 hari hingga akhirnya menetas.
Pada prosesnya, telur yang diperoleh ini kemudian diletakkan pada tempat khusus yang telah diatur sedemikian rupa sehingga menyerupai lingkungan aslinya, yaitu pasir. Pada tempat buatan ini, telur dengan jumlah tertentu akan dimasukkan kedalam lubang dan kemudian ditimbun dengan pasir, kemudian pada pagian pinggir lubangnya diberikan jaring yang terbuat dari kawat dan diberikan tanda yang menunjukkan waktu telur mulai ditimbun. Hal ini dilakukan supaya tukik yang nantinya telah menetas tidak saling bercampur dengan kelompok telur lainnya.
“Setiap harinya penangkaran ini melepaskan 10—20 ekor tukik ke pantai dengan melalui kegiatan adopsi yang dilakukan para wisatawan, yaitu dengan cara setiap wisatawan yang diharuskan membayar sebesar 10 dollar untuk setiap ekornya. Kemudian tukik yang mereka beli ini nantinya akan dilepas ke laut. Rata-rata dalam setahun sebanyak 6000—7000 tukik telah dilepas ke laut. Pada proses pelepasan, tukik yang telah dilepaskan secara alamiah akan segera menuju ke arah laut,” terang Dian.
Perlu diperhatikan bahwa pada saat pelepasan ini adalah tukik tidak boleh dipegang kembali jika tukik tersebut justru tidak berjalan ke arah pantai. Hal ini dilakukan supaya tukik dapat mengenali medan magnet bumi sehingga memudahkan ia kembali ke tempat asalnya ketika akan bertelur. Penyu yang siap bertelur biasanya ketika usia 12—15 tahun. Dalam satu kali peneluran, penyu dapat menghasilkan 100—300 butir telur yang terjadi mulai bulan April sampai Agustus.
Penyu di pulau Serangan ada 3 jenis, antara lain Penyu Hijau, Penyu Sisik, dan Penyu Lekang. Ciri morfologi masing-masing penyu berbeda setiap spesies. Ciri yang membedakannya adalah warna dan motif cangkangnya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penetasan telur penyu, tambah Dian, adalah suhu, proses relokasi, dan predator. Tinggi-rendahnya suhu akan mempengaruhi jenis kelamin dari tukik tersebut. Suhu normal penetasan penyu 30--38°C. Telur yang menetas pada suhu ˂30°C selama 60—70 hari akan menjadi penyu jantan. Saat di penangkaran, daya tetas telur tidak setinggi jika dibandingkan dengan di habitat asli tanpa relokasi yakni sebesar 40—60% saja. Namun jika telur tersebut dibiarkan menetas secara alami, daya tetas telur dapat mencapai 80%. (witono)