Khusniyatil Karinah adalah salah satu guru SM3T UNY yang ditempatkan di Bajawa, Kabupaten Ngada, Flores NTT. SM3T merupakan program pengabdian sarjana kependidikan untuk berpartisipasi dalam percepatan pembangunan pendidikan di daerah terpencil, terluar, dan tertinggal (3T). Dia ditempatkan di SLB Negeri Bajawa yang merupakan satu-satunya SLB di Kabupaten Ngada. Sekolah ini memiliki sekitar 32 orang guru dan 127 orang siswa. Bangunan sekolah yang dipimpin oleh Frederikus Ame Kae, S.Pd. sebagai kepala sekolah ini mempunyai luas tanah 1.755 m2.
Gedung sekolah ini memang kondisinya tidak sebagus SLB di Jawa, lantai dan tembok sedikit kotor, terlihat kurang terawat. Banyak kelas yang disekat-sekat dengan papan tripleks, bahkan beberapa pintu sudah tidak berfungsi dengan baik. Ruang perpustakaan yang harusnya digunakan untuk menyimpan buku dan mengeksplor pengetahuan siswa, juga ikut digunakan sebagai ruang kelas. Meskipun demikian, siswa-siswinya sangat bersemangat.
“Pertama kali melihat siswa-siswi SLB Negeri Bajawa terlihat ada yang berbeda,” kata Khusniyatil Karinah. “Bukan saja karena rambut atau kulitnya yang eksotis, namun raut muka mereka agak berbeda.” Baju mereka banyak yang kumal, bahkan tidak memakai seragam yang seharusnya. Pernah terjadi pada Sabtu, yang seharusnya menggunakan seragam pramuka malah menggunakan seragam merah putih. Pergi ke sekolah yang harusnya mengenakan sepatu, banyak dari mereka yang masih menggunakan sandal japit. Terlihat pula beberapa anak yang badannya kurang terawat, tampaknya beberapa hari belum mandi. Biasanya mereka yang seperti itu merupakan anak-anak asrama.
Alumni Prodi Pendidikan Luar Biasa FIP UNY tersebut mengatakan bahwa adat istiadat di Bajawa sangat beragam, mulai dari cara berjalan sampai dengan cara makan. Orang di Bajawa terbiasa jalan kaki di sebelah kanan, karena takut di tabrak oleh pengendara sepeda motor atau oto (mobil) dari arah belakang. Padahal sudah dipasang rambu peringatan di dekat Resor Ngada agar berjalan kaki di sebelah kiri, namun masih saja ada orang yang berjalan di sebelah kanan.
Uniknya, penduduk Bajawa tidak lagi menggunakan uang koin. “Uang koin tidak berlaku, bahkan uang Rp 1000 hanya beberapa saja yang mau menerima,” ungkap Khusniyatil Karinah. “Terkadang jika belanja di toko mendapat kembali Rp 1000, diberi permen atau coklat yang seharga sama.” Uang kertas di sini rata-rata sudah kucel-kucel, jarang ditemui uang baru, kecuali menukar di bank.
Menurutnya, Ngada tidak hanya memiliki alam yang kaya namun juga kebudayaannya. Setiap kecamatan di Ngada memiliki bahasa daerah dan adat istiadat yang berbeda-beda dan tentu saja orangnya ramah-ramah. Istimewanya, meskipun mereka memiliki bahasa masing-masing, namun hampir seluruhnya menguasai bahasa Indonesia. Hal tersebut menjadikan bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu mereka.
Kain adat yang biasa mereka pakai untuk acara besar pun berbeda. Setiap kain dari setiap kecamatan memiliki corak yang berbeda, yang memiliki filosofi berbeda pula. Bajawa memiliki kain adat dengan lambang kuda. Dalam tiap rumah suku asli di Bajawa memiliki rumah adat di dalamnya. Rumah tersebut di sebut Sa’o. Sa’o biasa digunakan untuk perayaan hari-hari besar seperti reba. Reba merupakan tradisi memberikan makan untuk nenek moyang yang biasa dilakukan setelah panen pada bulan Desember atau Januari.
Setiap ada perbaikan di Sa’o harus menggunakan ritual-ritual khusus dan penyembelihan hewan kurban. Ukiran-ukiran kayu di setiap sudut Sa’o juga dibuat dengan ritual khusus. Semua ritual tentu saja memakan biaya yang tidak sedikit jumlahnya. Khusniyatil Karinah akan bertugas di Ngada selama setahun hingga September 2015. (dedy)