Pada Senin, 16 Juni 2014 yang lalu, PPs UNY kembali mengadakan kegiatan kuliah umum dengan pemateri Dr. John Hope, Associate Dean for International Programme, Faculty of Education, University of Auckland (UoA), New Zealand. Ini adalah kali ketiga Dr. Hope berkunjung ke PPs UNY, setelah sebelumnya beliau diundang menjadi pembicara dalam kegiatan seminar internasional yang digelar PPs UNY serta kegiatan diskusi kerjasama antara UNY-UoA.
Dalam kuliah umum tersebut, Dr. Hope menyampaikan materi presentasi mengenai perkembangan teknologi dalam dunia pendidikan di New Zealand. Sebelum menyampaikan pokok materi, Dr. Hope memberikan penjelasan mengenai sistem pendidikan yang berlaku di New Zealand serta bagaimana pendidikan berlangsung secara riil di tingkat pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Tujuan utama pendidikan di New Zealand, seperti tercantum dalam kebijakan kementrian pendidikannya, adalah to develop the highest standards of achievement, through programmes which enable all students to realize their full potential as individuals, and to develop the values needed to become full members of New Zealand’s society.
Pendidikan dasar di New Zealand dimulai ketika anak memasuki usia 5 tahun. Tepat di hari ulang tahunnya yang ke-5, seorang anak diwajibkan untuk memasuki bangku sekolah. Oleh karena itu, awal sekolah untuk anak-anak di New Zealand berbeda antara satu anak dengan lainnya. Pendidikan dasar ini akan berlangsung hingga si anak berusia 10 tahun. Setelah itu, level pendidikan selanjutnya adalah di intermediate school untuk anak berusia 11-12 tahun. Secondary school merupakan jenjang pendidikan berikutnya, yang diikuti oleh siswa berusia 13-17 tahun. Lulus dari jenjang ini, siswa memiliki pilihan untuk melanjutkan studi di jenjang pendidikan tinggi atau terjun ke dunia pekerjaan.
Kurikulum yang berlaku di New Zealand merupakan salah satu hal yang cukup detail dibahas dalam guest lecturing ini. Kurikulum di New Zealand sifatnya adalah kurikulum umum yang memfokuskan pada pembelajaran secara individual dan dalam kelompok kecil. Karena sifatnya hanya mencakup hal-hal yang umum saja, maka sekolah diberi kesempatan untuk melakukan modifikasi kurikulum sesuai dengan kebutuhan sekolah masing-masing.
Dalam kurikulum tersebut disebutkan bahwa tidak ada ujian nasional yang diselenggarakan di sekolah-sekolah di New Zealand hingga siswa berusia 15 tahun, ketika siswa belajar di secondary school. Penilaian lebih banyak dilakukan secara formatif. Selain itu, outdoor education juga menjadi salah satu titik fokus pada kurikulum yang berlaku di New Zealand. Kebanyakan sekolah di New Zealand adalah sekolah negeri, sehingga dukungan dari pemerintah dan masyarakat merupakan faktor pendukung utama penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Memasuki materi utama, Dr. Hope memberikan gambaran mengenai bagaimana teknologi dimanfaatkan dalam pendidikan di New Zealand saat ini. Paparan ini dimulai dengan penjelasan singkat mengenai berbagai teknologi yang berkembang di dunia sejak ditemukannya slates (batu tulis) di tahun 1800 hingga pemanfaatan i-Pad di sekolah mulai tahun 2012. Selanjutnya dipaparkan mengenai merebaknya media online yang juga dimanfaatkan di dunia pendidikan dan bagaimana blended learning, online learning, mobile learning, serta massive open online courses (MOOCs) diterapkan.
Beberapa hal terkait pemanfaatan teknologi dalam pendidikan pun turut dipaparkan. Salah satunya adalah mengenai pengguna teknologi tersebut yang termasuk dalam golongan Generation Z. Yang dimaksud dengan Gen Z adalah anak-anak yang lahir antara tahun 1995—2009, yang saat ini sedang menempuh pendidikan. Dibandingkan dengan generasi sebelumnya, dalam generasi ini terdapat beberapa perbedaan. Salah satu di antaranya adalah generasi ini menghabiskan lebih dari 10 jam setiap harinya berada di depan layar — TV, komputer, atau telepon genggam. Akibatnya, muncullah kekhawatiran tersendiri akan adanya ketergantungan terhadap benda-benda ini.
Beberapa isu lain yang terkait pemanfaatan teknologi dalam pendidikan antara lain adalah isu yang berkaitan dengan kesehatan dan keamanan, munculnya gender gap, manajemen kelas, pelanggaran data, komersialisasi, digital leadership, serta beberapa dampak negatif yang muncul.
Setelah Dr. Hope selesai memaparkan materi presentasinya, sesi selanjutnya adalah sesi tanya jawab. Peserta kuliah umum ini cukup antusias dalam memberikan komentar maupun pertanyaan kepada narasumber. Salah satu pertanyaan yang diajukan adalah bagaimana merealisasikan tujuan utama pendidikan di New Zealand, yaitu to develop the values needed to become full members of New Zealand’s society, padahal New Zealand adalah negara sekuler.
Dr. Hope menjelaskan bahwa nilai-nilai yang dimaksud dalam tujuan ini adalah nilai-nilai sosial secara umum yang terdapat di masyarakat mereka, misalnya tentang tentang penghormatan pada orang tua di keluarga. Dalam budaya suku Maori, lebih lanjut dipaparkannya, anak berkewajiban untuk merawat orang tuanya yang sudah lanjut usia dan tinggal bersama mereka.
Pertanyaan berikutnya yang diajukan oleh peserta, sekaligus menjadi penutup kuliah umum ini, adalah tentang bagaimana standard kualitas pendidikan di New Zealand dapat dicapai melalui kurikulum yang diterapkan di sekolah. Oleh Dr Hope pertanyaan ini ditanggapi dengan pemaparannya tentang pelaksanaan pendidikan di kota dan desa di New Zealand serta bagaimana kurikulum di sekolah dapat disesuaikan sesuai dengan kebutuhan siswanya berdasar latar belakang mereka. (ts)