Wolojita merupakan salah satu kecamatan di kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur yang ditempati guru SM3T (Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) Universitas Negeri Yogyakarta. Kecamatan yang berjarak 85 km dengan waktu tempuh kurang lebih 2,5 jam dari pusat kota Ende ini, harus dilalui dengan cukup melelahkan karena 40 menit terakhir jalan yang harus dilalui rusak parah dan berkelok-kelok. Akses yang bisa digunakan untuk sampai di Wolojita cukup mudah karena ada beberapa pilihan oto atau bus setiap harinya. Daerahnya berupa pegunungan dengan udara yang sejuk, alamnya yang indah dan masyarakatnya yang ramah.
Salah satu guru yang ditempatkan di sini adalah Erma Rahmawati. Erma ditempatkan di SMP Katolik Swasta Wolojita yang berdiri sejak tahun 1965 dan masih bertahan sampai sekarang. Dari tiga kelas yang dimiliki SMPK Wolojita jumlah siswa seluruhnya hanya berjumlah 47 siswa saja. Karena sekolah ini adalah sekolah swasta, banyak sekali sarana dan prasarana yang kurang layak bahkan tidak ada. Dengan keterbatasan seperti itu SMPK Wolojita mampu terus bertahan dan berdiri sampai sekarang karena merupakan sekolah menengah pertama di kecamatan Wolojita. Kepala sekolahnya bernama Thersita Wetu.
Menurut alumni Prodi Pendidikan Biologi FMIPA UNY tersebut, dia mendapatkan 7 jam pelajaran setiap minggu karena hanya mengajar mata pelajaran biologi, sedangkan guru fisikanya sudah ada. “Karena hanya 7 jam pelajaran waktu kosong saya di sekolah lebih banyak,” katanya. “Waktu itu saya gunakan untuk membantu mengelola dan membuat administrasi sekolah seperti laporan kegiatan, surat menyurat, dan membantu pengetikan soal ujian semester.”
Saat memberikan materi pelajaran, Erma Rahmawati juga mengalami kesulitan karena kurangnya sarana prasarana. Buku pegangan siswa pun tidak ada dan para siswa hanya mengandalkan catatan untuk belajar. Buku pelajaran sangat minim, kalaupun ada sudah tidak sesuai dengan kurikulum yang ada. “Pada materi pelajaran, saya meminta anak untuk berkumpul dan menyaksikannya dengan menggunakan laptop,” kata Erma. “Kegiatan ini cukup membuat mereka senang karena merupakan hal baru bagi mereka.”
Untuk memudahkan siswa menerima materi pelajaran, Erma membuatkan materi dan para siswa menggandakannya agar tidak terlalu menyita waktu. Karena peralatan biologi pun tidak ada berbagai praktikum tidak bisa dilaksanakan. Alat seperti mikroskop pun tidak ada sehingga kegiatan praktikum hanya bisa dilakukan untuk materi-materi tertentu saja. Karakter siswa di SMPK Wolojita pada khususnya dan di dataran Flores pada umumnya mungkin bisa dikatakan kurang dari anak-anak di Jawa.
“Dari segi kemampuan kognitif mereka kurang dalam hal pemahaman dan menerima materi dari guru,” kata Erma. “Walau demikian satu yang saya salut dari mereka adalah semangat belajar yang cukup tinggi.” Dengan jarak rumah yang cukup jauh dan ditempuh dengan berjalan kaki mereka selalu tepat waktu sampai di sekolah. Selain itu, saat guru meminta mengerjakan sesuatu, mereka selalu menurut dan melaksanakannya dengan gembira, hal yang belum pernah ditemuinya di Jawa.
Setiap Senin minggu pertama awal bulan, pemerintah Ende mewajibkan guru maupun siswa untuk memakai pakaian adat Ende yakni untuk perempuan memakai lawo lambu sedangkan untuk laki-laki menggunakan ragi. Lawo adalah sebutan sarung tenun untuk wanita, lambu adalah baju dengan bentuk khusus untuk wanita. Sedangkan ragi adalah sarung tenun untuk laki-laki dengan luka lesu yakni selendang dan penutup kepala. Hal ini digalakkan sebagai salah satu langkah pemerintah daerah untuk membantu dan melestarikan tenun khas Ende-Lio.
Tenun Ende untuk wanita di hargai sekitar 300—500 ribu sedang ragi untuk pria sekitar 150 ribu. Hal ini karena proses pembuatan tenun yang masih tradisional dan membutuhkan waktu yang cukup lama namun kualitasnya sangat bagus. “Sebagai pendatang, saya sangat bangga bisa ikut berpartisipasi melestarikan budaya yang ada,” ungkap Erma. “Di sini saya banyak belajar dari mereka tentang sisi lain Indonesia yang kaya akan budaya.” (dedy)