Pada era globalisasi, lembaga pendidikan seperti universitas atau perguruan tinggi mempunyai peran penting dalam menghasilkan sumber daya manusia berkualitas yang mampu mengelola sumber daya alam secara efektif, efisien, dan memberikan jasa layanan yang baik. Universitas sebagai penyelenggara pendidikan seharusnya mampu memainkan peran yang dinamis sebagai agen perubahan dalam sistem demokrasi dan modernitas. Demikian diungkapkan Muhammad Ngafifi, M.Pd. calon wisudawan UNY dalam sarasehan bertema “Sumbang saran pemikiran untuk kemajuan UNY” di Ruang Sidang Rektorat UNY, Jumat, 30 Mei 2014.
Sarasehan wisudawan cum laude dan terbaik program studi ini menampilkan tiga pembicara yaitu Muhamad Ngafifi, M.Pd. dari Prodi Pendidikan IPS Pascasarjana UNY, Stevy Ditta Nirmala, S.Pd. dari Prodi PBSI FBS, dan Adhi Wicaksono, S.Pd. dari Prodi Pendidikan Teknik Informatika FT yang diikuti oleh 400 orang calon wisudawan/wisudawati terbaik yang akan diwisuda Sabtu, 31 Mei 2014 di GOR UNY.
Muhammad Ngafifi, M.Pd., mahasiswa Pascasarjana UNY tersebut menambahkan bahwa pada era globalisasi, universitas telah mengalami pergeseran peran menjadi bentuk kapitalisme akademik yang tidak memajukan citizenship tetapi menjadi subordinasi pasar. “Oleh karena itu, perlu kemerdekaan akademik untuk memberi identitas ilmu pengetahuan di Indonesia,” katanya. “Sudah saatnya Indonesia memiliki kemerdekaan akademik dari captive mind, orientalisme, dan xenophilia terutama dari lingkup pendidikan di perguruan tinggi.”
Sarasehan wisudawan cum laude dan terbaik program studi dibuka oleh Wakil Rektor I UNY Wardan Suyanto, Ed.D. yang berharap agar keberhasilan yang diperoleh bukanlah akhir semuanya tetapi merupakan pintu masuk pada era global. Pembicara kedua, Stevy Ditta Nirmala, S.Pd. mengatakan bahwa pendidikan multikultural merupakan hal yang relatif baru dalam dunia pendidikan. “Multikultural menitikberatkan pada proses transaksi pengetahuan dan pengalaman untuk menginterprestasikan pandangan yang berbeda menuju pada kepentingan yang luhur,” kata Stevy.
Multikultural juga memfokuskan pada hidup berdampingan dalam konteks kultural yang berbeda. Menurutnya, dengan kenyataan ini dapat dikatakan bahwa model pendidikan multikultural tidak sekedar merevisi materi pembelajaran melainkan juga mereformasi sistem pembelajaran itu sendiri. Bersamaan dengan masuknya wacana multikulturalisme perlu dilakukan berbagai lokakarya untuk meningkatkan kepekaan sosial, toleransi, dan mengurangi prasangka antar-kelompok.
Pembicara ketiga yaitu Adhi Wicaksono, S.Pd. mengedepankan idenya tentang konsep crowdsourcing sebagai model pembiayaan kegiatan mahasiswa. Menurutnya, konsep crowdsourcing dapat diaplikasikan di kampus dengan menggunakan metode website tempat mahasiswa dapat mem-posting kegiatan atau kompetensi yang akan diikuti dengan mencantumkan informasi sedetil mungkin mengenai kegiatan yang akan diikutinya.
“Nantinya pihak terkait akan bisa melihat proposal dari mahasiswa tersebut, dan yang tertarik dapat memberikan bantuan pendanaan,” kata Adhi. Konsep ini dapat memberikan aspek positif bagi civitas akademika UNY dan mendukung tingkat partisipasi mahasiswa dalam mengikuti berbagai macam kegiatan ataupun kompetisi sehingga dapat meningkatkan kualitas mahasiswa serta daya saing di luar kampus. (dedy)