Kamis (1/5/2014), tak kurang dari 1100 penonton memenuhi Gedung Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta. Malam itu, digelar sebuah pertunjukan ketoprak dengan lakon “Perang Tak Pernah Usai”, dalam rangka memperingati Dies Natalis UNY ke-50. Pertunjukan ini melibatkan 10 organisasi mahasiswa di UNY dari berbagai jurusan dan bidang kesenian di UNY.
“Perang Tak Pernah Usai”, naskah karya Mahasiswa FBS UNY, menceritakan tentang kegelisahan Bambang Sumantri dan Arjuna Sasrabahu dalam memperebutkan cinta Dewi Citrawati. Kisah cinta ini menjadi salah satu sebab perang besar antara kerajaan milik Arjuna Sasrabahu, Maespati, dengan Alengka milik Rahwana yang tak akan usai. Kisah ini dibawakan dengan begitu apik, profesional, dan menghibur dengan dagelan khas ketoprak dan sentilan kritis menyinggung realita.
Arjuna Sasrabahu selalu ingin memenuhi permintaan Dewi Citrawati. Suatu hari, Dewi ingin mandi bersama para dayang. Untuk itu, sungai yang di hulu harus dibendung, namun akibatnya air di hilir menyurut. Rahwana sebagai pemimpin Alengka murka karena kerajaannya di hilir sungai menjadi kering. Rahwana kemudian berambisi untuk mengalahkan Arjuna Sasrabahu dan merebut Dewi Citrawati. Meletuslah perang antara Maespati dan Alengka.
Iringan musik Pentas Kethoprak Kolaborasi tak hanya gamelan Jawa. Mahasiswa UNY menjadikan gamelan, perkusi, orkestra, dan suling sunda satu senyawa sepanjang pementasan. Iringan menghentak dari kolaborasi musik gamelan dan orkestra seakan-akan menyihir atmosfer panggung mendaki klimaks. Dalam adegan duka, alunan pelan orkestra dan suling sunda menyentuh emosi penonton. Di akhir cerita, berbagai alat musik menjadi harmoni yang apik yang disambut tepuk tangan riuh penonton. “Iringan musiknya mengagumkan,” ungkap Farida (34 tahun) yang mengajak putrinya menonton pementasan ini.
Farindo Reskha (Pendidikan Bahasa Inggris 2009), penata iringan musik, mengungkapkan bahwa proses adalah hal paling menarik yang ia alami dari produksi pentas ini. “Ada beberapa pemusik yang berangkat dari tradisi karawitan, jazz, J-rock, juga perkusi. Proses adaptasi konsep maupun teknis, serta proses tukar menukar ilmunya yang asyik,” ujarnya. “Dalam berkesenian, jangan terlalu terpaku pada tradisi. Karena apa yang sekarang kita sebut sebagai tradisi dulunya adalah kontemporer dan yang sekarang kita sebut kontemporer berpeluang untuk jadi tradisi di masa depan. Memahami tradisi itu penting karena itu identitas, tapi terlalu terpaku akan memampatkan kreativitas.”
Prof. Dr. Zamzani, M.Pd., Dekan FBS UNY dan Penanggung Jawab Dies Natalis UNY ke-50, menyampaikan apresiasi kepada para penonton yang begitu antusias untuk datang dan menyaksikan pertunjukan ini. Hal tersebut merupakan sebuah bukti bahwa semangat nguri-uri budaya belum sepenuhnya hilang dari diri bangsa Indonesia seperti yang sering digaungkan. Ia pun mengapresiasi panitia dan pelakon yang sukses merayakan hasil kreativitas dan kerja keras di malam itu dengan disiplin.
Septianto Hutama (Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2011) sebagai pelakon Arjuna Sasrabahu mengungkap hal tersulit dalam proses produksi ketoprak ini, penyatuan ideologi dari tim yang berasal dari 10 ormawa di UNY. Masalah yang timbul tak menyurutkan semangat latihan karena ada keinginan yang lebih kuat untuk mempersembahkan pentas ketoprak kolaborasi yang megah dan sukses.
Ali Hasan “Djimbe” (Bahasa dan Sastra Indonesia 2010) selaku pimpinan produksi mengaku bangga dapat menjadi bagian dari Pentas Kethoprak Kolaborasi di usia UNY yang setengah abad. Begitu pula Ahmad Hasfi (Pendidikan Bahasa Daerah 2012) selaku sutradara yang bersyukur dan berterima kasih kepada para penonton. Ia berharap bahwa karyanya tak hanya menjadi tontonan namun juga tuntunan serta media pemelihara budaya. (Wardania/Febi)