Quantcast
Channel: Universitas Negeri Yogyakarta - Leading in Character Education
Viewing all articles
Browse latest Browse all 3541

SENI DALAM KACAMATA POLITIK DAN DUNIA ANAK-ANAK

$
0
0

Perdebatan dalam dunia seni masih berlangsung hingga kini. International Conference for Arts and Arts Education (ICAAE) menghadirkan topik bahasan tersebut dalam kemasan yang menarik. Bertempat di Ruang Seminar Gedung Pusat Layanan Akademik, Fakultas Bahasa dan Seni (PLA FBS) lantai tiga, pada penyelenggaraan ICAAE hari kedua, Kamis (6/3/2014), dua pembicara yang ahli di bidangnya memberikan perspektifnya masing-masing tentang seni. Mereka adalah Dr. Goh Beng Lan dan Rudi Corens.

Dr. Goh Beng Lan mengawali Plenary Session 3 tentang perspektif seni dalam politik khususnya di Asia Tenggara. Dosen National University of Singapore tersebut mengungkapkan permasalahan terorisasi seni yang ada saat ini adalah kejatuhan seni dalam politik. Sisi-sisi kemanusiaan menjadi dipertanyakan. Beliau menyatakan bahwa untuk menjadi manusia yang seutuhnya bukan semata-mata persoalan hak dan kewajiban.

Lebih dari itu, bagaimana cara menjadi manusia seutuhnya dengan belajar dan bertindak secara nyata agar menemukan esensinya. Tidak perlu teori-teori besar untuk menemukannya. Implementasi rasa memaafkan, keterbukaan, dan dialog dapat menyamarkan sekat perbedaan yang ada. Menurut beliau, perbedaan ini terjadi karena latar belakang sejarah yang berbeda-beda. Hal-hal semacam ini dapat dilakukan agar menjadi manusia yang seutuhnya.

Jika Dr. Goh Beng Lan menyampaikan seni dalam kaitannya dengan politik dan kemanusiaan, Rudi Corens menyampaikannya dalam sudut pandang dunia anak-anak. Seniman yang juga kurator Museum “Kolong Tangga” tersebut mendefinisikan seni sebagai kekuatan pribadi. Karena manusia harus kembali ke hakikatnya untuk selalu belajar. Beliau mengharapkan pendidikan seni mampu memberikan ruang kebebasan berekspresi bagi umat manusia.

Pada zaman dahulu, Rudi Corens memaparkan bahwa pendidikan seni hanya diperkenankan untuk kaum wanita yang memiliki status sosial yang tinggi. Beliau percaya bahwa pendidikan seni bagus untuk pembentukan karakter. Namun, beliau menyayangkan bahwa pembentukan karakter ini memang ada tapi hanya sebatas slogan. Pendidikan seni hadir agar dapat menjembatani hal tersebut karena pendidikan itu berguna untuk membuat orang merasa bebas untuk mengekspresikan apa yang ada dalam benak mereka.

Bahan pendidikan seni dapat beraneka ragam. Namun, beliau memilih mainan sebagai medianya karena menurutnya mainan merupakan unsur intrinsik yang tak terlepas dari dunia anak-anak. Beliau memandang mainan sebagai aspek yang penting dalam dunia anak. Hal ini disebabkan mainan merupakan refleksi dari dunia yang nyata. Misalnya, boneka Barbie yang merupakan sampel penyuntikan nilai atau perspektif Amerika kepada perempuan. Beliau menerangkan bahwa Museum “Kolong Tangga” merupakan alternatif bagi anak-anak untuk belajar dan menemukan hal-hal baru.

Perkembangan anak tak dapat terlepas dari peran orang tua dan tenaga pendidik. Mereka memainkan peran yang sangat penting dalam tumbuh kembang anak. Untuk itulah, orang tua juga perlu menyadari pentingnya pendidikan seni karena melalui inilah anak-anak dapat menyadari keindahan sejak dini.

Selain kedua pembicara tersebut, pada Plenary Session 1 para peserta dibuat “tersihir” oleh kepiawaian Prof. Dr. F.X. Mudji Sutrisno, S.J. dan Prof. Dr. Suminto A. Sayuti dalam berdiskusi. Sementara pada Plenary Session 2, Prof. Dr. Ign. Bambang Sugiharto dan Prof. Dr. Kanchana Witchayapakorn mengambil alih kemudi diskusi. Bertempat di Ruang Seminar Gedung Pusat Layanan Akademik (PLA) lantai III, diskusi berlangsung dengan seru.

Prof. Dr. Ign. Bambang Sugiharto membuka sesi dengan pertanyaan tentang konsep identitas. Dosen Universitas Parahyangan Bandung tersebut mengatakan bahwa identitas bersifat kompleks dan memiliki hubungan dengan lingkungan sekitar. Hal ini disebabkan identitas dibentuk berdasarkan hubungan dengan orang lain. Hal ini pula yang menyebabkan identitas itu sendiri bersifat dinamis dan terus mengalami perubahan. Beliau percaya bahwa apabila identitas seseorang tidak jamak, maka memiliki arti bahwa individu tersebut tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan, sehingga identitasnya bersifat stagnan.

Beliau menekankan pendidikan sebagai seni dan pendidikan seni. Baginya, seni adalah metode. Pendidikan sebagai seni (education as art) menciptakan kemungkinan untuk pemahaman tentang diri sendiri dan dunia. Sedang pendidikan seni (education of art) dapat memberikan pelajaran kepada manusia tentang pentingnya apresiasi sebagai media pembelajaran tentang kerumitan dunia. Beliau menilai karya sastra sebagai karya seni menggunakan pandangan kualitatif, yakni penilaian yang berdasarkan pada kedalaman cerita bukan pada bentuknya. Kedalaman cerita suatu karya sastra dapat dilihat dari kandungan cerita yang menggambarkan fenomena pada kehidupan yang sebenarnya.

Para peserta seolah dibuat menyelami dunia sastra Thailand dalam kacamata wanita ketika Prof. Dr. Kanchana Witchayapakorn menyampaikan presentasinya. Tak sembarang, karya sastra yang dipilihnya merupakan tiga karya terkenal di negerinya: Inao, Kritsana Sorn Nong Kam Chan, dan The Four Reigns. Ketiga cerita ini mengangkat wanita sebagai pusat cerita dengan menggambarkan sosok ideal seorang wanita. Pada ketiga cerita tersebut, sosok wanita ideal begitu tergambar jelas, yakni ia yang lembut, patuh, dan rendah hati. Inilah yang membuat seorang wanita begitu dicintai orang banyak, seperti tokoh Bussaba dalam kisah Inao. (Zidnie/ Rony)

Label Berita: 

Viewing all articles
Browse latest Browse all 3541

Trending Articles