Quantcast
Channel: Universitas Negeri Yogyakarta - Leading in Character Education
Viewing all articles
Browse latest Browse all 3541

PEMENTASAN SINDHEN: CITRA PEREMPUAN MASA KINI

$
0
0

Era Liberalisme di Eropa dan pecahnya Revolusi Perancis pada abad ke-18, mengantar perempuan Eropa berani menempatkan diri mereka seperti laki-laki. Berawal dari usaha kecil para perempuan Eropa untuk berperan serta dalam tatanan sosial, kedudukan sosial perempuan dari waktu ke waktu pun mulai mendapat tempat. Hingga ke berbagai aspek kehidupan seperti aspek pendidikan, ekonomi, dan politik.

Tak terkecuali Semi, seorang sindhen kenamaan dari desa Watugundul. Dalam panggung pementasan naskah berjudul “Sindhen” karya Heru Kesawa Murti, dikisahkan Semi sebagai seorang perempuan berparas cantik dan bersuara emas. Kemasyhurannya dalam menembang sudah terkenal hingga ke pelosok desa. Bahkan ia sudah kerap menjuarai lomba menembang, baik di tingkat desa, kecamatan, kabupaten, maupun provinsi. Berada di bawah asuhan Raden Lurah Tanpasembada selaku kepala desa Watugundul, bakat alami Semi mulai berkembang.

Prestasinya yang gemilang tidak serta merta mengubah posisinya sebagai seorang perempuan dan istri dalam rumah tangga. Semi tetap bersusah payah menyuarakan haknya sebagai seorang perempuan. Ia berdebat hebat dengan suaminya terkait kedudukan laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga. “Jaman sekarang itu sudah tidak musimnya lagi perempuan mlungker terus di rumah. Apa! Perempuan itu bukan pitik babon! Bukan cuma disuruh tinggal terus di dapur! Bukan babu! Ingat, ingat! Jangan kelewatan bodohmu itu!” jelas Semi suatu ketika kepada suaminya.

Tak hanya Semi,  dalam pementasan tersebut pun terdapat tokoh perempuan lain yang juga tak takluk begitu saja dibawa kekuasaan laki-laki. Adalah istri Raden Lurah Tanpasembada. Ia ngamuk ketika suaminya Raden Lurah Tanpasembada sibuk mengurus Semi hingga menelantarkannya dan anak-anaknya. Langkah untuk menggugat cerai pun diambil oleh perempuan pencemburu tersebut. Ia tidak gentar dengan bayang-bayang kehidupan dihimpit kesulitan setelah perceraian. Ia mengambil sikap tegas terhadap sikap suaminya yang dinilai telah menelantarkan kewajiban terhadap dirinya dan anak-anaknya tersebut. Ia bahkan tidak minta harta gono-gini sedikit pun dari suaminya ketika mereka benar-benar bercerai kelak.

Panggah Waluyo selaku sutradara, ketika dijumpai seusai acara pun sepakat bahwa isu yang hendak diangkat dalam naskah ini adalah isu persamaan hak perempuan atas laki-laki dalam rumah tangga namun ia menyinggung hal lain. Ia berkata bahwasanya pementasan ini pun mencoba menyentil fenomena pada masa Orde Baru dulu ketika pemimpin begitu sembrono memilih menteri. Cukup punya satu kemampuan saja seseorang akan mudah mereguk posisi dalam kabinet. Ha ini tentu dapat kita cermati dari sikap Dewa Guru Khayangan yang secara serampangan menghendaki Semi diboyong ke Kayangan setelah gusar menyaksikan kemerosotan kinerja para Dewa. Pada hal kemampuan Semi hanya sebatas nembang saja tidak pada persoalan mengurus negeri khayangan.

Komunitas Teater Dhingklik mengemas pementasan tersebut pada Senin, 23 Desember 2013 yang bertempat di Stage Tari Tedjokusuma dengan bumbu-bumbu kekinian. Memasukan beberapa unsur kekinian yang sedang ngetrend di tengah masyarakat menambah meriah pentas penutup Parade Teater PBSI/BSI angkatan 2011 tersebut. “Ini memang sengaja dilakukan karena sejak awal kami ingin pementasan ini menyerupai ketoprak, jadi kami coba masukkan unsur-unsur kekinian,” tambah Panggah.

Tidak hanya berhenti pada pementasan “Sindhen” saja, acara masih berlanjut dengan penutupan rangkaian parade teater. Menghadirkan supervisor atau pendamping proses dan sutradara perwakilan dari lima kelas atau lima komuniats teater yang telah tampil pada parade teater tahun ini yaitu: Komunitas Teater Tempur dari BSI kelas G yang menampilkan teater berjudul “Matahari di Sebuah Jalan Kecil” naskah Arifin C Noer, kelompok Teater Malam dari kelas M PBSI yang mementaskan “Sang Pelacur” naskah  Pedro Sudjono, Teater Kerang-K dari kelas K PBSI dengan naskah “Senja Dengan Dua Kelelawar” karya Kirdjomulyo.

Lalu berlanjut dengan kemeriahan yang dibawa oleh Teater Nol Koma dari kelas N yang menampilkan naskah “Perjuangan Suku Naga” karya W.S Rendra, dan Teater Dhingklik dari BSI kelas G yang menutup rangkaian parade teater dengan mementaskan naskah berjudul “Sindhen” karya Heru Kesawa Murti. Tampil kedua dosen pengampu mata kuliah Kajian Drama, Dr. Suroso dan Dr. Nurhadi menyerahkan plakat penghargaan kepada para supervisor atau pendamping dan sutradara dari kelima kelas atau komunitas teater tersebut. (Djuwariyah Wonga)

Label Berita: 

Viewing all articles
Browse latest Browse all 3541

Trending Articles