“Pagi yang cerah. Langit biru menaungi daratan Flores. Deburan ombak setiap detiknya seakan menjadi soundtrack titian napas pendidikan di tempat ini. Sabtu pagi itu, murid-murid SD Katolik Ngedusuba desa Wogowela memulai apel bendera. Di tempat penugasanku itu, aku mengikuti seluruh dinamikanya. Berdiri di barisan guru, khidmat turut apel. Seusai apel, anak-anak melakukan senam pagi. Matahari merangsuk ke badan mungil murid-muridku. Pasca itu, saat keringat masih muncul ke pori kulit, mereka bersama membersihkan lingkungan sekolah. Sebuah budaya Sabtu.”
Demikian gambaran kegiatan Sabtu pagi yang diungkapkan Asteria Mamik Hartanti yang akrab dipanggil Aster, guru SM3T di SDK Ngedusuba, Golewa Selatan, NTT. Sekolah yang tegak berdiri sejak 1965 di bawah naungan Yayasan Persekolahan Umat Katolik (Yasukda) itu mengisi Sabtunya dengan pengembangan diri. Jadwal pengembangan diri setiap minggunya berbeda. Hari itu, pengembangan diri diisi dengan bermain musik.
Syair lagu Pancasila diiringi petikan ukulele dari jari seorang anak laki-laki mengalun indah. Memecah suasana hening pagi itu. Pula anak-anak kelas VI ikut melantunkan lagu itu sambil bergoyang. Sangat meriah. Ketika kedua telapak tangan saling beradu menghantam menghasilkan tepukan. Pemetik ukulele itu Karolus Frederikus Due yang akrab dipanggil Karlos. Darah seni memang mengalir di setiap nadinya. Terlihat dari pembawaan, ekspresi, dan petikan jari-jari tangan mungilnya. Sebuah irama tentramkan hati. Pagi itu semua murid dan guru terpana menatap mata dan mendengar petikan ukulele Karlos yang menawan.
Menurut Asteria Mamik Hartanti, di umur yang masih belia, Karlos memiliki bakat seni yang luar biasa. Meskipun jarak rumah ke sekolah sangat jauh, semangatnya selalu membara setiap bertolak ke sekolah.
“Muridku itu tinggal di Limalea desa Bawarani, sekitar 4 km dari tempatku mengajar,” kata Aster. “Bersama temannya ia berjalan kaki pergi-pulang sekolah. Saat musim hujan, ia rela menyeberang sungai dengan aliran yang cukup deras. Prihatin. Sekaligus inspirasi yang tak terhingga dari semangat seorang bocah kecil itu.”
Meski belajar dengan sarana prasarana serba terbatas, dalam pandangan Aster mereka banyak mengantongi nilai positif. Salah satunya, keberadaan seni budaya yang menyatu dengan nasionalisme. Lewat petikan ukulele Karlos tercermin nasionalisme yang tinggi. Penghayatan mendalam pada Pancasila. Alumni PGSD UNY tersebut tergelitik untuk memahami artinya. Kemudian Aster menemui Rikardus Keli, guru agama Katolik di sekolah untuk menerjemahkan dalam Bahasa Indonesia.
Beginilah artinya…
Pancasila yang menerangi selamanya, yang melindungi tanah air Indonesia.
Pancasila sebagai dasar negara kita yang selalu dikenang dan dicari oleh semua anak bangsa.
Sebagai Bapa yang selalu menasehati kita untuk bersatu.
Sebagai Ibu yang selalu mempersatukan kita semua.
Marilah kita semua baik besar maupun kecil, bahu-membahu dalam kebersamaan, agar kita menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa.
Lagu yang inspiratif. Penggalan-penggalannya interpretasi pembauran yang selaras antara seni, budaya, dan nasionalisme. “Dari si kecil Karlos, hari itu aku mendapat satu pelajaran. Pelajaran berharga dari kesederhanaan anak didikku. Pelajaran yang terus akan selalu teringat,” tutup Aster. (dedy)