Berbagai tantangan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia, terutama dalam dunia pendidikan. Bangsa kita menahan beban tantangan filosofis, tantangan moral, tantangan profesional, dan tantangan metodologis. Pembaharuan pendidikan nasional mutlak perlu adanya pedoman filosofis, yaitu Konstruk Filosofi Pendidikan Nasional Pancasila. Pengembangan Filosofi Pendidikan Nasional Pancasila dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan “eklektik-inkorporatif-harmonis-dinamis”. Eklektis ialah bersifat memilih yang terbaik dari berbagai sumber (KBBI,12012); Eugene Ehrlich, et.al, 1986: 272). Inkorporasi ialah “to include as apart” (Eugene Ehrlich, et.al, 1986: 446) atau “to combine into a unifide whole” (Webster’s Dictionary, 1993).
Demikian ungkap Dr. Dwi Siswoyo, M.Hum. dalam stadium generale yang dihadiri sekitar 390 mahasiswa PGSD Uhamka Jakarta, Kamis (5/12/2013). Acara ini diadakan di Pendopo Kampus III FIP UNY, dan dibuka secara resmi oleh Dekan FIP UNY, Dr. Haryanto.
Lebih lanjut, beliau memaparkan bahwa bangsa Indonesia seperti yang dinyatakan Prof. Dr. T. Jacob sedang dilanda bencana moral yang kita buat sendiri, yaitu antara lain: diterpa banjir korupsi, erosi dan longsornya etika, kebakaran disiplin, gempa adat istiadat, ledakan kerusuhan dan letusan emosi primer yang erat terkait pada egoisma dan survival, badai kejahatan, kemarau iman, hama narkotik, dan wabah suap. Kegagalan pendidikan dengan dramatis dipamerkan oleh anggota-anggota badan perwakilan kita, yang nyata terlihat bukanlah wakil rakyat, melainkan wakil partai.
Untuk menjadi tenaga edukator/guru yang profesional, selain perlu dimilikinya pengetahuan “know-how” yang vital, yang mendukung menjadikan pendidikan secara efektif dan efisien, juga perlu dimilikinya pengetahuan yang fundamental tentang pendidikan. Pengetahuan yang fundamental yang menjadi dasar pendidikan dikenal dengan rubrik fondasi-fondasi pendidikan (“foundations of education”).
Guru sendiri dituntut untuk menunjukkan kemampuan berkomunikasi dengan baik terhadap peserta didik, sesama guru, kepala sekolah , tenaga kependidikan lain, dan orang tua dan masyarakat pada umumnya. Guru dalam hal ini perlu lebih menekankan aspek “leadership” (“focuses on doing the right things”) yang berparadigma baru dari pada aspek manajemen (“focuses on doing things right”) itu sendiri yang sering kurang “human”. (ant)