Akhir pekan bukan menjadi alasan untuk tidak menimba ilmu. Sabtu (21/9/2013), bertempat di Ruang Seminar PLA Lantai III FBS UNY, Himpunan Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (Hima PBSI) menyelenggarakan workshop teater bagi mahasiswa umum. Acara yang diikuti oleh 126 mahasiswa itu menghadirkan dua seniman teater; Eko B. Rahmanto (aktivis dan seniman) dan M. Shodiq (pegiat teater Yogyakarta).
“Berteater tidak hanya berkarya secara individu, tetapi berteater merupakan berkarya secara bersama-sama,” ujar Dzikrina selaku ketua panitia. Pada hakikatnya, seni teater tak dapat terpisahkan oleh kolektivitas. Sebab, unsur kebersamaan selalu melekat di dalam proses pementasan teater. Apabila berteater hanya mengandalkan individualitas, maka proses berkesenian teater tak akan berjalan baik dan berhasil. “Dunia keteateran juga jarang digeluti oleh mahasiswa umum. Oleh sebab itu, kami berupaya menyelenggarakan workshop ini dengan tujuan agar mengenalkan proses teater dan menjunjung tinggi seni teater di ranah mahasiswa,” tandas Dzikrina yang merangkap jabatan sebagai ketua Mishbah (komunitas Teater UNY).
“Di dalam dunia teater, seseorang dapat mempelajari dimensi kesenian yang berkolaborasi menjadi satu kesatuan: dimensi seni rupa, musik, mau pun sastra,” jelas Eko. Pementasan teater tak hanya mengandalkan teks drama yang diwujudkan dalam lakon pementasan. Setting tempat yang mengunggulkan dimensi seni rupa menjadikan seni teater kaya akan estetika. Selain itu, dengan komposisi musik yang variatif-relevan –dengan situasi kondisi dalam teks drama— akan “membangkitkan” suasana teater lebih hidup. “Dengan belajar seni teater, maka akan belajar pula tentang kehidupan sosial dan arti kebersamaan,” tambah Eko.
Penghayatan “menjadi” tokoh di dalam teks drama yang diperankan juga begitu penting di dalam seni teater. Mimik muka, gestur, mau pun tinggi-rendah ujaran dalam berdialog sangatlah mendukung di dalam memaknai karakter tokoh. M. Shodiq juga menjelaskan dan mencontohkan beberapa teknik penokohan. “Sebelum memerankan tokoh, kita harus paham betul karakter yang melekat di dalam tokoh itu secara kontekstual dan kondisional,” tutur M. Shodiq.
Pascapenyampaian materi oleh kedua pembicara, panitia Workshop juga membagi peserta menjadi kelompok-kelompok kecil. Dari kelompok itu, peserta dapat langsung memerankan sebuah drama singkat. Dengan demikian, peserta bisa mengimplementasikan langsung materi yang didapatkan dengan menampilkan drama singkat dari kelompoknya. Di akhir acara, M. Shodiq menuturkan pesan moral di dalam kesenian teater, “Dengan berteater kita akan memerankan tokoh yang bukan karakter asli kita. Semakin banyak kita belajar menjadi tokoh ‘yang lain (the other)’ maka dari itu kita akan lebih bijaksana dalam memahami-memaknai karakter orang lain.” (Rony)