Kebijakan pendidikan di Indonesia selalu mengalami dinamika sesuai dengan rezim yang berkuasa. Kebijakan pendidikan yang bersifat populis dimulai pada masa Jepang dan dilanjutkan oleh Pemerintahan Soekarno dan Soeharto. Arah kebijakan pendidikan nasional pasca reformasi politik (1998), justru cenderung liberal-kapitalistik, serta menciptakan kastanisasi seperti yang ditemukan dalam masa penjajahan Belanda.
Lebih lanjut ungkap Darmaningtyas, “Berbagai kebijakan yang sifatnya populis, seperti BOS dan Beasiswa Bidikmisi sesungguhnya hanya merupakan pupuk bawang yang berfungsi untuk mendinginkan tensi tinggi dari masyarakat yang menolak kebijakan privatisasi dan liberalisasi pendidikan. Tetapi sebagai pupuk bawang, jelas tidak menyelesaikan masalah sampai akarnya. Akar masalahnya adalah pengembalian regulasi pendidikan yang senafas dengan dasar Negara Pancasila dan UUD 1945 yang asli.
Demikian sekelumit dari Seminar Nasional Dies Natalis ke-63 FIP UNY dengan mengambil tema “Pendidikan Populis Berwawasan Budaya”, Kamis, 25 Juli 2013 di Ruang Sidang Utama Rektorat UNY. Sebagai nara sumber adalah pemerhati pendidikan, yaitu Darmaningtyas dan Prof. Dr. Suminto A. Sayuti. Acara ini dihadiri oleh 269 peserta terdiri dari anggota dewan dosen FIP, karyawan, mitrakerja, Kepala BKD, Kepala Dinas Pendidikan, Kepala SKB, Kepala SLB, Kepala SD, dan mahasiswa.
Dalam sambutannya, Dekan FIP, Dr. Haryanto, M.Pd. menyampaikan keprihatinan akan dominasi kelompok tertentu, yang dapat menikmati pendidikan yang berkualitas, sementara kelompok masyarakat yang berekonomi rendah sulit mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Meskipun pemerintah telah meluncurkan banyak kebijakan untuk mengatasi permasalahan tersebut, pada kenyataannya hanya mampu menolong sedikit masyarakat yang menikmati pendidikan yang berkualitas.
Rektor UNY, Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd, M.A. mengungkapkan bahwa sekarang pendidikan nasional cenderung kapitalis dan elitis. Negara demokratis sudah seharusnya memberikan rakyatnya layanan pendidikan yang prima. Pendidikan yang bersifat populis yang menjunjung tinggi martabat manusia, diperlukan kebijakan, dukungan masyarakat sosial, serta potensi peserta didik. Kuncinya ada pada peserta didik.
Dalam kesempatan yang sama, Prof. Dr. Suminto A. Sayuti menyampaikan pendidikan di Indonesia termasuk pengambilan kebijakannya, masih mengarah pada pendidikan yang berlaku di dunia barat. Padahal dari segi budaya pun sudah berbeda. Dalam konsep pendidikan, unsur budaya tentu harus dimasukkan bahkan menjadi salah satu landasannya. Contohnya pola belajar ala Ki Hajar Dewantara yang sangat Indonesia. Tak hanya menjadi landasan pendidikan, Suminto menegaskan, pendidikan pun menjadi sumber produksi dari budaya itu sendiri. Karenanya wawasan berbudaya mutlak dalam pendidikan, utamanya pendidikan yang saat ini diarahkan pada pendidikan berkarakter. (ant/mar)