Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta (FIS UNY)menambah koleksi dosen dengan gelar doktor.Dosen dengan gelar doktor terbaru adalah Miftahudin, M.Hum, dari jurusan Pendidikan Sejarah, Prodi Ilmu Sejarah. Doktor Miftahudin, berhasil menyelesaikan disertasi dan menyelesaikan ujian terbukanya pada senin (27/02) lalu di Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Judul Disertasi yang diambil oleh Miftah adalah ‘Dinamika Komunitas Diaspora Hadrami Dalam Gerakan Al-Irsyad Di Indonesia, 1945-2007’. Dalam pemaparannya Miftah menjelaskan, “Penelitian ini memfokuskan objek kajian terhadap terjadinya dinamika komunitas diaspora Hadrami dalam gerakan Al-Irsyad di Indonesia yang dihadapkan pada persoalan sosial, politik, keagamaan, dan budaya dalam rentang waktu dari awal masa kemerdekaan, tahun 1945, sampai awal periode reformasi Indonesia, tahun 2007”, ungkapnya.
Dijelaskan oleh Miftah, “Temuan Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa akomodasi adalah pola yang dikembangkan Al-Irsyad dalam menyikapi kebijakan politik yang dikembangkan, baik pada masa pemerintahan Soekarno maupun Soeharto. Pola tersebut dapat dilihat, misalnya, bahwa pengembangan pendidikan Al-Irsyad mengikuti model yang dikembangkan pemerintah. Semula dalam pendidikan Al-Irsyad berorientasi ke-Arab-an kini berubah dengan ciri Indonesia. Bahasa pengantar dalam proses pembelajaran yang awalnya mengunakan bahasa Arab selanjutnya diganti dengan bahasa Indonesia, walaupun pelajaran bahasa Arab dan agama Islam tetap diajarkan. Model pendidikan Al-Irsyad sebelumnya adalah berbentuk penjenjangan, seperti Awaliyah (3 th), Ibtidaiyah (4 th), Tajhiziyah (2 th), dan Muallimin (4 th) ditambah Takhasus, kemudian berubah menjadi sekolah-sekolah Al-Irsyad, seperti SR (Sekolah Rakyat) Al-Irsyad, SMP Al-Irsyad, dan SMA Al-Irsyad.” ujarnya.
Miftah juga menambahkan dalam presentasi promosi doktoralnya, “Dengan berpegang pada paham salafi yang diperkuat dengan kemampuan bahasa sumber Islam, yaitu bahasa Arab, serta dukungan dana yang kuat dari negara, seperti Arab Saudi dan Kuwait, maka kelompok Utsman Baisa merasa berhak untuk membawa dan memimpin Al-Irsyad. Konflik pun melanda Al-Irsyad karena tidak semua Irsyadi pro dengan dakwah salafi. Konflik ini ditandai dengan pemecatan dan pergantian kepengurusan Al-Irsyad yang pro dakwah salafi oleh Ketua Umum Al-Irsyad al-Islamiyah, Geys Amar, yang selanjutnya dibalas dengan pemberhentian ketua umum itu sendiri dan pengangkatan ketua baru. Islah dilakukan berkali-kali tetapi tidak diperoleh titk temu, dan akhirnya perebutan kantor Al-Irsyad pun terjadi yang disusul dengan penyelesaian secara hukum ke pengadilan. Konflik Al-Irsyad diakhiri dengan didirikannya organisasi baru oleh kelompok pro dakwah salafi yang diberi nama Perhimpunan Al-Irsyad.” urainya
Dijelaskan pula oleh Miftah, “Dalam konteks ini, dinamika diaspora komunitas Hadrami dalam gerakan Al-Irsyad ditandai dengan sering melakukan shift identitas. Artinya, komunitas Hadrami dengan Al-Irsyadnya terkadang mengidentifikasikan diri sebagai Arab dan berorientasi ke-Arab-an, terutama pada awal-awal berdirinya Al-Irsyad, tetapi khususnya pasca kemerdekaan sampai Orde Baru orientasi itu berubah menjadi ke-Indonesia-an, dengan tetap menonjolkan identitas ke-Araban dan ke-Islaman. Selanjutnya, orientasi ke-Arab-an menguat kembali pasca Orde Baru seiring dengan bergulirnya reformasi Indonesia.” tegasnya. (Sari)