Pegunungan Bintang adalalah salah satu kabupaten di Papua yang termasuk dalam daerah terdepan, terluar dan tertinggal. Kabupaten ini berbatasan langsung dengan negara Papua Nugini. Banyak gunung atau bukit yang tersebar layaknya bintang bertaburan di langit sehingga kabupaten ini memiliki nama Pegunungan Bintang. Tidak ada jalan beraspal maupun alat transportasi darat yang menjangkau seluruh wilayah selain di ibukota kabupaten ini. Satu-satunya alat transportasi adalah pesawat perintis, apabila bepergian antar distrik maupun ke berbagai wilayah masyarakat cukup berjalan kaki. Tidak semua distrik di kabupaten ini dijangkau oleh signal telepon seluler. Banyak pula distrik yang belum dialiri listrik sepenuhnya. Inilah kisah Fathoni Hari Bintara, guru SM3T UNY yang ditempatkan di distrik Okhika kabupaten Pegunungan Bintang. “Kehidupan sederhana dan jauh dari hiruk pikuk kota menjadi pengalaman hidup yang sangat berharga” kata Fathoni “Udara segar, suara ayam berkokok, dan pemandangan indah selalu dapat saya nikmati setiap pagi”. Bahkan masyarakat yang ramah senantiasa membantu dan memberi sesuatu yang mereka miliki.
Fathoni Hari Bintara mengajar di SD Inpres Bakonaip dan SMPN Satu Atap Bakonaip. Kedua sekolah tersebut terletak di kawasan yang sama. “Penilaian awal saya terhadap siswa adalah siswa tersebut susah untuk diatur dan memiliki temperamen yang keras” ungkapnya. Hal ini wajar dan harus dimaklumi karena kondisi geografis dan lingkungannya yang membentuk kepribadian mereka. Hal yang harus dilakukan tentunya adalah mendidik afektif mereka agar patuh dan taat terhadap nasihat guru walaupun guru tersebut berbeda latar belakang kedaerahan dengan mereka. Fathoni tidak hanya mengajar pelajaran semata namun juga menanamkan sikap dan sopan-santun siswa kepada guru baik di dalam sekolah maupun di luar.
Alumni prodi pendidikan biologi FKIP UNS tersebut mengatakan bahwa pembelajaran tidak sepenuhnya dilakukan dalam kelas. “Mata pelajaran biologi yang menjadi bidang utama saya mengajar menunjang kegiatan belajar di luar kelas” tuturnya. Lingkungan sekitar sekolah yang masih asri berisi berbagai macam tumbuhan dan hewan menjadi laboratorium terbesar. Materi keanekaragaman hayati, pola interaksi, pertumbuhan-perkembangan tumbuhan, anatomi-fisiologi tumbuhan dan lainnya sangat kontekstual apabila siswa dibawa dalam lingkungannya yang nyata.
Selama mengabdi di SD-SMP Satap Bakonaip Fathoni juga merangkap sebagai guru dengan beberapa mata pelajaran seperti biologi, penjaskes, bahasa Indonesia dan guru kelas rangkap III-IV. Ketersedian guru yang sangat terbatas menuntutnya untuk mengajar beberapa matapelajaran. Fathoni lebih menekankan kemampuan calistung (baca, tulis, dan hitung) selama mengajar di jenjang sekolah dasar. Sementara itu, siswa SMP diajar seperti pada umumnya dengan pemilihan materi yang sekiranya mereka dapat menangkap dengan baik. Tidak semua materi disampaikan kepada siswa selama setahun mengajar. Hal tersebut menjadi pertimbangan karena mengingat kemampuan menyerap pelajaran mereka yang masih kurang. Pada sore hari diadakan pemberian pelajaran tambahan selama mengabdi sejak pukul 16.00 sampai 17.30 WIT dengan jadwal yang sudah diatur sebelumnya.
Siswa pedalaman tidak boleh dibandingkan atau disejajarkan dengan siswa yang bersekolah di tempat maju. Mereka hidup dalam keterbatasan untuk mencapai pendidikan ini. Jarak rumah siswa dengan sekolah yang jauh tidak menyurutkan semangat mereka untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Kondisi jalanan ditepi lereng gunung yang berjurang menjadi tantangan mereka untuk pergi kesekolah. Sungguh perjuangan yang harus disambut dengan pelayanan kepada mereka agar kelak bekal ilmu pengetahuan yang didapat dapat bermanfaat seterusnya. “Semoga apa yang saya berikan selama pengabdian berupa ilmu pengetahuan ini dapat memberikan manfaat kepada mereka” harap Fathoni. (dedy)