Seminar Nasional “Paradigma Profetik, Jalan Baru Ilmu Sosial Keindonesiaan”, merupakan seri diskusi yang telah dirintis sejak tahun 2011. Diskusi kali ini memfokuskan pencarian epistemologi bagi ilmu sosial keindonesiaan. Epistemologi profetik, menjadi salah satu yang dibahas. Paradigma profetik yang ditawarkan oleh Prof Heddy Shri Ahimsa-Putra menyebut bahwa satu hal yang menjadi perbedaan paradigma profetik dan ilmu sosial lain adalah tentang “wahyu”. Wahyu menjadi sumber utama dalam proses pencarian ilmu. Wahyu ini kemudian menjadi model atau etos. Dengan memasukkan unsur wahyu dalam paradigma profetik memungkinkan seseorang melakukan lompatan besar dalam keilmuan, yaitu menjadi seorang ilmuwan yang religius tapi scientific. Mereka mampu melakukan transformasi individual dan sosial mewujud dalam model keindonesiaan, kemanusiaan yang adil dan beradab. Senada dengan Ahimsa-Putra, Amin Mudzakkir, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), memandang proyek profetik yang digagas oleh Kuntowijoyo mengedepankan transformasi sosial daripada transformasi individual.
Inilah nalar yang perlu dibangun dalam membangun sebuah kajian baru ilmu sosial keindonesiaan. Dalam rangka proyek `pribumisasi`, ilmu sosial keindonesiaan, Amin Mudzakkir, menyebut proyek `pribumisasi` yang muncul dalam perdebatan ilmu-ilmu sosial di Indonesia lahir dari semangat cultural turn ini. Para eksponennya menganggap bahwa ilmu-ilmu sosial yang berasal dari Barat tidak bebas nilai. Oleh karena itu, ketika dibawa ke Indonesia, ilmu-ilmu itu dicurigai justru bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku di sini. Bagi para eksponen pribumisasi ilmu-ilmu sosial, Barat dan Indonesia dilihat sebagai dua entitas yang tidak selalu cocok, tetapi lebih sering berseberangan. Lebih dari itu, mereka cukup yakin terdapat suatu jenis ilmu sosial yang khas Indonesia, yang lahir dari pemikiran orang Indonesia sendiri.
Namun perlu diingat, keberadaan Indonesia tidak lepas dari komunitas dunia. Oleh karena itu, pengkajian terkait keindonesiaan perlu melihat bagaimana ilmu itu juga ada atau mirip dengan yang ada di negara lain. Komparasi atau melihat kesamaan dan atau perbedaan apa yang terjadi di Indonesia dan dunia luar akan menjadikan ilmuan sosial Indonesia mempunyai perspektif yang luas tentang ilmu. Ia tidak terkungkung dalam pengetahuan semu. Ia pun akan menjadi melek ilmu dengan melihat belantara luas ilmu sosial.
Inilah yang dalam bahasan Dr. Nasiwan, ilmu sosial keindonesiaan butuh rute baru. “Jika rute lama sudah tidak bagus lagi dan atau buntu, maka kita perlu mencari rute baru”, tandasnya. Fakultas Ilmu Sosial (FIS) UNY tambahnya perlu menjadi corong bagi pengembangan rute baru itu. Salah satunya dengan pengajaran dan pengembangan sistem pendidikan. FIS yang didalamnya ada ilmu murni dan ilmu kependidikan perlu mendorong kajian yang lebih serius (berupa riset), agar desiminasi ilmu sosial keindonesiaan (indigenisasi) mewujud.
Seminar Nasional ini, menjadi semacam pemantik awal membangun Mazhab Karangmalang. Melalui mazhab ini kiranya ilmu sosial masih tetap kukuh dan menjadi dambaan bagi penyelesaikan problem sosial di tengah semakin banyaknya negara yang antipati terhadap kajian ilmu sosial. (sari)