Bahasa Inggris memiliki peran penting dalam pengembangan sumber daya manusia agar mampu bersaing di dunia global. Ini terjadi karena negara penutur asli Bahasa Inggris secara ekonomi dan politik menjadi semakin berjaya sehingga Bahasa Inggris secara alami berkembang menjadi bahasa global. Banyak orang belajar Bahasa Inggris bukan semata-mata karena berminat mempelajarinya, melainkan karena banyak peluang yang akan diperoleh dengan menguasai Bahasa Inggris. Realita di Indonesia menunjukkan bahwa hampir setiap lowongan pekerjaan, tidak terkecuali lowongan bagi calon pegawai negeri sipil, mempersyaratkan penguasaan Bahasa Inggris bagi pelamarnya, walaupun pekerjaan yang akan dilakukan belum tentu bersentuhan dengan Bahasa Inggris.
Selain itu, Bahasa Inggris juga merupakan bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), sehingga untuk mengikuti perkembangan IPTEK diperlukan penguasaan Bahasa Inggris. Demikian pula untuk dapat bersosialisasi dengan bangsa-bangsa lain di dunia diperlukan kemampuan berbahasa Inggris. Oleh sebab itu, sudah sewajarnya Bahasa Inggris di Indonesia menjadi mata pelajaran wajib pada pendidikan formal dari SMP sampai perguruan tinggi.
Demikian diungkapkan Prof. Sugirin, M.A., Ph.D. dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar dalam bidang Pembelajaran Bahasa Inggris pada Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta. Pidato berjudul “Hakikat Reading dan Implikasinya bagi Pembelajaran” itu dibacakan di hadapan rapat terbuka Senat UNY di Ruang Sidang Utama Rektorat UNY, Rabu, 29 Mei 2013. Prof. Sugirin, M.A., Ph.D. merupakan guru besar UNY ke-120.
Lebih lanjut, peraih doktor dalam bidang Teaching English to Speakers of Other Languages dari Deakin University Australia tersebut menjelaskan bahwa pada saat anak-anak memasuki usia sekolah, mereka sudah memiliki kemampuan cukup baik untuk berkomunikasi secara lisan, bahkan ditengarai anak-anak di kota, banyak yang menunjukkan kemampuan kedwibahasaan. Untuk wilayah DIY, misalnya, kemampuan kedwibahasaan bukan lagi menjadi dominasi anak kota. Sampai di desa-desa pun jarang anak yang berbicara hanya bahasa Jawa saja. Kalaupun orang tuanya berbahasa Jawa, anak-anak biasanya sejak usia sekolah sudah berkomunikasi dengan dua bahasa, Jawa dan Indonesia, walaupun salah satu saja yang dominan.
“Memang dalam hal belajar membaca dalam bahasa pertama, para ahli pembelajaran bahasa masih berbeda pendapat,” kata Prof. Sugirin, M.A., Ph.D. “Ada yang sejalan dengan pendapat di atas, namun juga ada yang berpendapat bahwa reading dapat dimulai lebih awal, tidak perlu menunggu sampai anak mahir berkomunikasi secara lisan. Yang menyarankan belajar reading dapat dimulai lebih dini berkeyakinan bahwa reading dapat membantu pengembangan keterampilan lainnya.”
Menurutnya, hakikat reading diklasifikasikan menjadi tiga, micro, macro, dan meso reading. Hakikat micro diperkirakan hanya berlaku di Indonesia dan sebagian negara Asia. Namun dari perpustakaan elektronik yang cukup mudah dijangkau saat ini, diperoleh informasi bahwa hakikat micro ini justru merupakan makna utama yang dimaksud oleh para ahli pembelajaran membaca pada awal perkembangan budaya baca. Untuk dapat menyampaikan pesan tertulis dengan cara lisan, kemampuan menghubungkan tulisan dengan bunyi bahasa yang ditandai dengan kemampuan melafalkan tulisan sangat diperlukan. Namun dalam bingkai reading secara umum kemampuan ini baru merupakan salah satu micro skills of reading. Pengertian reading semacam ini dipandang sempit (micro) atau terlalu sempit, sehingga dinamakan micro reading. Sementara macro reading menembus batas pengertian reading secara umum (meso) karena reading dipandang sebagai the effort to understand the world around us for the sake of mankind.
Pria kelahiran Kulon Progo, 27 November 1949, tersebut mengatakan bahwa di negeri penutur asli Bahasa Inggris, tidak semua pakar reading menerima keberadaan macro reading dalam dunia akademik, namun dalam realita kehidupan di Indonesia, orang menggunakan kata reading dengan ketiga hakikat, termasuk hakikat macro. Karena itu hakikat yang terakhir ini perlu diakomodasikan dalam pembelajaran.
Di samping itu, karena pembelajaran Bahasa Inggris juga diberi amanah untuk andil dalam membina karakter bangsa, pemilihan bahan ajar otentik yang menarik diperlukan agar selain belajar Bahasa Inggris pembelajar secara tidak sadar sekaligus mengembangkan nilai-nilai karakter bangsa yang terintegrasikan dalam bahan dan proses pembelajaran. Dengan demikian, pembelajaran Bahasa Inggris tidak akan menggerus moral bangsa, tetapi sebaliknya, justru dapat memupuk rasa cinta tanah air. (dedy)