Ketertinggalan perekonomian Indonesia dibandingkan dengan Jepang, Korea Selatan dan Taiwan disebabkan terbatasnya entrepreneurship. Keberadaan entrepreneur sangat diperlukan baik untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan maupun pengangguran. Pada tahun 2015 jumlah entrepreneur di Indonesia baru 1,56% dari total penduduk, sementara itu untuk mendukung pembangunan ekonomi diperlukan entrepreneur sekurang-kurangnya 2% dari total penduduk. Oleh sebab itu, pendidikan entrepreneurship perlu disebarluaskan kepada seluruh lapisan masyarakat agar jumlah penduduk yang memiliki entrepreneurship semakin banyak, sehingga budaya kewirausahaan semakin berkembang. Demikian diungkapkan Prof. Dr. Sukidjo, M.Pd dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar dalam bidang Ilmu Pendidikan Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta. Pidato berjudul “Peran Pendidikan Entrepreneurship dalam Pengembangan Ekonomi Kerakyatan dan Pengentasan Kemiskinan” itu dibacakan dihadapan rapat terbuka Senat UNY di Ruang Sidang Utama Rektorat UNY(24/8). Prof. Dr. Sukidjo, M.Pd merupakan guru besar UNY ke-132.
Pria kelahiran Sleman 6 September 1950 tersebut mengatakan bahwa tujuan pendidikan entrepreneurship adalah untuk menanamkan pengetahuan, nilai-nilai, jiwa, dan sikap kewirausahaan kepada peserta didik, dalam rangka menciptakan wirausaha-wirausaha baru yang handal. “Pendidikan entrepreneurship perlu ditumbuhkembangan baik di sekolah, perguruan tinggi maupun di masyarakat pada umumnya” katanya. Menurutnya, keberadaan entrepreneur dapat difungsikan sebagai motor penggerak perekonomian nasional, oleh karena itu pendidikan kewirausahaan perlu ditingkatkan untuk membentuk manusia yang memiliki jiwa yang kreatif dan inovatif sehingga mampu dan berani memanfaatkan peluang untuk menciptakan usaha baru. Untuk membudayakan kewirausahaan, pendidikan entrepreneurship dapat dilakukan di sekolah, perguruan tinggi, maupun di masyarakat.
Doktor bidang Pendidikan dan Evaluasi Pembelajaran Pascasarjana UNY tersebut mengemukakan, pendidikan kewirausahaan di sekolah dapat dilakukan dengan cara mengintegrasikan ke dalam seluruh mata pelajaran dengan tujuan meningkatkan kesadaran pentingnya pembiasaan nilai-nilai kewirausahaan dalam perilaku sehari-hari dan terbentuknya karakter wirausaha. Sedangkan di perguruan tinggi dikembangkan kuliah kewirausahaan, magang kewirausahaan, kuliah kerja nyata kewirausahaan, klinik konsultasi bisnis dan inkubator bisnis. “Pendidikan entrepreneurship di luar sekolah dilakukan oleh dinas-dinas terkait di pemerintah daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan organisasi kemasyarakatan lainnya” ungkap Prof. Dr. Sukidjo, M.Pd. Cara yang dilakukan antara lain melakukan sosialisasi kepada generasi muda dan ibu-ibu rumah tangga, pelatihan dan kursus bagi karang taruna, ibu-ibu PKK, pemuda putus sekolah serta magang pada dunia usaha.
Warga Krapyak Margoagung Seyegan Sleman tersebut menyimpulkan bahwa pendidikan entrepreneurship dimaksudkan untuk mengubah mindset penduduk miskin agar memiliki kemampuan dan berani menciptakan usaha baru, mengubah budaya kemiskinan menuju budaya kewirausahaan melalui jalur pendidikan formal maupun non formal. Berbagai pelatihan sebaiknya ditindaklanjuti dengan memberikan peralatan sebagai modal kerja untuk menciptakan usaha dalam skala usaha mikro, kecil maupun menengah. Sampai dengan tahun 2016, masih terdapat 10,86 % penduduk Indonesia yang termasuk dalam kategori miskin. “Untuk mempercepat pengentasan kemiskinan maka salah satu upaya yang dilakukan adalah membudayakan kewirausahaan melalui pendidikan entrepreneurship dan meningkatkan kerjasama kemitraan antara UMKM dengan Usaha Besar” tutup Prof. Dr. Sukidjo, M.Pd.(dedy)