PPs UNY kembali mengadakan kuliah tamu dengan pembicara Dr. John Hope dari The University of Auckland, New Zealand (NZ), Jumat, 17 Mei 2013. Dr. Hope yang juga merupakan Wakil Dekan urusan Program Internasional di Fakultas Pendidikan UoA, memaparkan secara komprehensif mengenai sistem pendidikan di NZ, mulai dari level dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi.
Di awal paparannya, Dr. Hope mengemukakan fakta demografis yang dimiliki oleh NZ. Saat ini penduduk NZ tercatat sejumlah kurang lebih 4,25 juta orang. Sebagian besar di antaranya adalah keturunan Eropa, yang mereka sebut dengan istilah Pakeha dalam bahasa Maori. Hanya sekitar 13,6% yang merupakan suku Maori, suku asli di NZ. Sebanyak 88% penduduk tinggal di wilayah perkotaan, dengan konsentrasi terbesar di Auckland, ibukota NZ. Dengan demikian, berbagai hal terkait pendidikan di NZ cukup jelas terlihat di Auckland.
Secara umum disampaikan bahwa pendidikan dasar di NZ berlangsung selama 8 tahun dan dimulai ketika anak menginjak usia 5 tahun. Saat ini terdapat setidaknya 2000 sekolah dasar di NZ yang bisa mengakomodir sebanyak 445.000 siswa. Selanjutnya, anak akan mengikuti jenjang pendidikan menengah hingga usia 16 tahun, baru kemudian masuk universitas. Ujian nasional, yang menghasilkan National Certificate of Educational Achievement Level 1-3, hanya diselenggarakan di tiga tahun terakhir jenjang pendidikan menengah. Di jenjang pendidikan tinggi, saat ini terdapat 36 institusi pendidikan tinggi di NZ, yang terdiri dari 8 universitas, 21 politeknik, dan 3 wananga (pendidikan tinggi Maori).
Hingga tahun 1989, sistem pendidikan di NZ serupa seperti yang dimiliki Indonesia. Setiap level pendidikan berada di bawah naungan Kementrian Pendidikan dan dinas pendidikan di tingkat negara bagian. Peran yang diemban oleh Kementrian Pendidikan sifatnya sentral dan vital. Di negara bagian terdapat beberapa pengawas sekolah yang melakukan asesmen terhadap kinerja guru. Dengan sistem demikian, sekolah, orang tua, dan masyarakat hanya memiliki sedikit kesempatan untuk ikut mengatur penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Sejak tahun 1989, NZ menerapkan perubahan yang signifikan dalam sistem pendidikannya. Pemerintah melimpahkan urusan manajerial sekolah langsung kepada pihak sekolah. Tugas yang diemban oleh Kementrian Pendidikan berubah, yaitu membuat kebijakan pendidikan, mengalokasikan dana kepada sekolah, serta memonitor sistem pendidikan nasional secara keseluruhan. Kementrian ini bertanggungjawab dalam hal menentukan arah pendidikan NZ, yaitu a broad education through a balanced curriculum, merumuskan panduan kurikulum nasional dalam 8 level, serta mensinergikan rumusan tersebut dan memberikan dukungan bagi sekolah dalam hal penyelenggaraan pendidikan.
Selain Kementrian Pendidikan, terdapat pula beberapa lembaga yang terkait dengan pelaksanaan sistem pendidikan yang baru tersebut, di antaranya adalah Education Review Office (ERO) yang bertugas memonitor penjaminan mutu sekolah dan PAUD. Selain itu, terdapat pula New Zealand Qualifications Authority (NZQA) yang mengurusi berbagai hal terkait standar kurikulum serta mata pelajaran dan New Zealand Teachers Council yang memonitor secara langsung sertifikasi guru dan berbagai pelatihan untuk guru.
Dalam sistem yang baru tersebut, sekolah bertanggungjawab penuh terhadap kurikulum dan bagaimana mereka menjalankan pendidikan. Dalam hal ini, pengawasan dilakukan oleh Board of Trustees, dan kinerja guru dinilai oleh kepala sekolah. Board of Trustees ini terdiri dari tujuh orang perwakilan orang tua, kepala sekolah, perwakilan guru, serta perwakilan siswa (khusus untuk jenjang menengah).
Lebih lanjut, Dr. Hope mengemukakan bahwa sebagian besar sekolah di NZ merupakan sekolah negeri. Hanya sebagian kecil yang merupakan sekolah swasta. Data statistik tahun 2013 menunjukkan sedikitnya terdapat 2550 sekolah negeri dan 115 sekolah swasta di NZ. Dalam hal manajemen sekolah, baik sekolah negeri maupun swasta, jumlah staf ditentukan berdasarkan perbandingan yang rasional dengan jumlah siswa yang dimiliki oleh suatu sekolah. Di sekolah negeri, gaji guru dinegosiasikan oleh sekolah dan dibayarkan melalui sistem penggajian terpusat. Dana operasional dikelola oleh sekolah, termasuk gaji staf dan pendanaan kegiatan siswa.
Beberapa hal yang tercakup dalam kerangka kurikulum nasional yang ditetapkan di NZ antara lain berkaitan dengan cakupan mata pelajaran yang wajib ada, yaitu Bahasa Inggris, Bahasa Lain, Matematika, IPA, Teknologi, Ilmu Sosial, Seni, dan Kesehatan. Masing-masing mata pelajaran tersebut memiliki tujuan yang ketercapaiannya ditunjukkan dalam 8 level. Selain itu, terdapat pula beberapa keterampilan yang diajarkan, misalnya dalam hal komunikasi, numerasi, informasi, problem solving, manajemen diri, dan kemampuan sosial.
Yang menarik dalam sistem pendidikan di NZ adalah kebebasan siswa untuk menentukan pilihan hendak bersekolah di mana. Pendidikan formal untuk anak usia dini di NZ bukanlah merupakan level pendidikan yang wajib ditempuh oleh anak. Sekolah di NZ diselenggarakan dalam berbagai pola, ada yang menerapkan bahasa Maori sebagai bahasa resmi dalam PBM di kelas, ada pula yang memakai bahasa Inggris dan menjadikan bahasa Maoris sebagai muatan lokal. Selain itu, siswa juga dapat memilih antara mengikuti sekolah negeri, swasta, maupun homeschooling. Meskipun demikian, semua sekolah tersebut menerapkan pembelajaran interaktif yang berpusat pada siswa.
Berkaitan dengan kualifikasi dan kompetensi guru di NZ, untuk mengajar di level pendidikan anak usia dini, guru disyaratkan untuk memiliki ijazah diploma. Untuk level sekolah dasar guru harus merupakan lulusan sarjana kependidikan dan untuk jenjang pendidikan menengah, selain bergelar sarjana kependidikan, guru juga harus memiliki pengalaman mengajar selama 3 tahun untuk mata pelajaran yang diampunya. Untuk dapat disebut sebagai seorang guru di NZ yang fully-registered, seorang guru harus melewati dua tahun pertama dengan kinerja yang bagus dan sertifikat guru yang dimilikinya akan selalu diperbarui setiap tiga tahun. Bilamana memiliki kinerja yang bagus, seorang guru dapat dipromosikan menjadi senior teacher maupun kepala sekolah.
Di sela-sela penjelasannya dalam kuliah umum tersebut, Dr. Hope juga menerima banyak pertanyaan dari peserta, yang terdiri dari pengelola PPs UNY, serta mahasiswa S3 dan S2. Kebanyakan pertanyaan berkaitan dengan perbedaan pola pendidikan antara NZ dan Indonesia, serta permasalahan yang dialami oleh NZ ketika melakukan perubahan mendasar dalam sistem pendidikannya. Di akhir kuliah umum tersebut, Dr. Hope menekankan bahwa perubahan yang cukup besar dalam sistem pendidikan di NZ dapat dilakukan karena jumlah penduduk dan berbagai faktor pendukung lain memang memungkinkan untuk dilakukannya perubahan tersebut. Hal ini jelas tidak akan dapat dilakukan di Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar dan latar belakang budaya yang lebih beragam. Semoga menginspirasi. (ts)