Lesten adalah nama sebuah gampoeng atau desa di kecamatan Pining yang merupakan salah satu daerah paling terisolir di Kabupaten Gayo Lues, Aceh. Jarak dari pusat Kecamatan Pining sekitar 18 km hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki atau menaiki jonder. Cerita dari siswa membawa rasa penasaran terlebih banyak masyarakat asli Pining yang mengaku belum pernah ke Lesten. Demikian dikisahkan Bekti Setyawati, Guru SM3T UNY yang ditempatkan di SMPN 1 Pining, Gayo Lues.
Seorang pemilik kedai kopi di Pining, Mak Harto mengatakan bahwa jalan menuju ke Lesten cukup mengerikan. “Takut saya kalau suruh ke Lesten,” kata Mak Harto, “kalau tidak diikat dengan kain sarung, kita pasti jatuh. Di sana pun masih ada orang yang kena kusta.” Namun Bekti membulatkan tekad untuk berangkat ke Lesten diiringi pesan dari Mak Harto agar berhati-hati.
Menurut informasi yang didapat, untuk menuju ke Lesten bisa menggunakan jonder. Pada awalnya Bekti bingung membayangkan apa itu jonder. Ternyata alat transport itu berwujud sebuah traktor besar merk John Deere. Mungkin terlalu sulit untuk lidah orang Indonesia untuk menyebut kata John Deere, alhasil kata jonder lebih akrab di telinga. Rodanya besar bahkan lebih tinggi daripada tubuh manusia normal. Pada desain aslinya hanya bisa menampung sekitar tiga orang saja. Setelah mengalami modifikasi, tidak kurang 20 orang bisa diangkut. Deru suaranya keras. Kata seorang warga, jonder sebenarnya merupakan alat berat untuk membajak sawah. Delapan bulan lalu warga Lesten mendapat bantuan sebuah jonder dari pemerintah. Setidaknya mereka tidak perlu lagi berjalan kaki selama sembilan jam untuk sekadar mendapatkan barang-barang kebutuhan pokok di kota kecamatan.
Perjalanan itu dimulai sekitar pukul 11.30 WIB dengan membawa sekitar 20 penumpang. Bekti berangkat bersama Bu Nirmala, Bu Tari, dan Bu Halimah. Pak Galih dan Bu Ika yang bertugas di SMAN 1 Pining pun akhirnya ikut setelah mendengar kami akan pergi ke Lesten. Pak Salam, seorang kawan pegawai TU yang memiliki saudara di Lesten menjadi pemandu perjalanan kami. Pak Dika, Guru Garda Depan dari SM3T angkatan pertama hari itu juga turut serta dalam rombongan menuju tempat tugasnya di Lesten.
Setengah jam perjalanan, jalan mulai menanjak dan mencapai kemiringan mencapai hampir 35 derajad. Jalanan menanjak ini hanya dibatasi tebing dan jurang di sisi kanan dan kirinya. Beberapa tanjakan mengharuskan kami untuk turun dari jonder dan berjalan kaki untuk naik. Sopir tidak mengijinkan kami tetap di atas jonder demi alasan keamanan. Tanjakan itu tinggi disertai tikungan membentuk letter S. Lubang-lubang bekas roda jonder membuat jalan semakin rusak dan sulit dilalui.
“Kami pun harus rela berjalan kaki cukup jauh melewati tanjakan tinggi pula. Setelah sampai di jalanan yang agak halus, kami pun diperbolehkan naik ke badan jonder lagi. Belantara rimba semakin ke dalam semakin lebat saja. Pohon-pohon tua yang sebelumnya belum pernah aku lihat, tampak berjajar kokoh seolah raksasa yang siap menjegal siapa saja yang berani merusak hutannya. Hutan sepanjang jalan menuju Lesten ini memang masih terletak di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser yang terkenal itu sehingga kelestariannya masih cukup terjaga,” tambahnya.
“Sampai di desa Lesten pukul 19.00 WIB. Warga Lesten menyambut kedatangan kami dengan pandangan heran. Memang baru pertama kali kami ke sana. Wajar saja warga bertanya-tanya tentang siapa kami dan maksud kedatangan kami ke Lesten. Indriyan Sahpulo, salah satu mantan siswa SMPN 1 Pining menyambut kami” kata Bekti.
Dia mengingat kembali betapa berat perjuangan mereka untuk pergi ke sekolah. Menurutnya ada beberapa anak Lesten, yang jumlahnya tak lebih dari sepuluh orang, menjadi siswa di SMPN 1 Pining. “Tidak tiap hari mereka pulang ke Lesten,” ungkap Bekti. “Mereka tinggal dan bekerja paruh waktu di bengkel milik geucik Lesten yang buka di Pining.” Geucik adalah pejabat setingkat lurah. Enam bulan sekali saat musim liburan tiba mereka baru pulang. Uang hasil bekerja di bengkel itulah yang mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Warga Lesten berjumlah sekitar 50 KK. Mereka tidak hanya mendiami satu titik lokasi. Sebagian warga tinggal di kampung atas dan sebagian lagi di kampung bawah sehingga kampung ini tampak lebih sunyi. Listrik PLN belum mengaliri rumah-rumah masyarakat Lesten. Warga hanya mengandalkan kekuatan listrik dari panel surya bantuan dari pemerintah beberapa tahun yang lalu. Apabila mendung matahari tidak bersinar sehingga panel surya tidak banyak menyimpan cadangan listrik. Cerita tentang geliat desa rimba Lesten ini berakhir setelah dua hari tiga malam menginap di sini.
“Sikap sederhana, menerima, dan kerja keras menjadi gambaran yang saya peroleh dari masyarakat Lesten” tutup Bekti. (Dedy)