Apa yang dibayangkan apabila mendengar kata Raja Ampat? Tentu adalah suatu lokasi wisata yang indah di Papua. Disini ditempatkan salah seorang guru Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T) UNY, Ihsan Zuhdi. Menurutnya, mengajar di daerah 3T membutuhkan tenaga ekstra jika dibandingkan mengajar siswa di daerah kota.
“Kami dituntut mampu untuk menghandle apa yang di amanahkan nanti di daerah penempatan dengan segala keterbatasannya” kata Ihsan Zuhdi. “Kami merangkap mengajar mata pelajaran yang sama sekali jauh berbeda dengan background pendidikan kami ketika kuliah dahulu.” Dia ditempatkan di Kampung Warwanai, sebuah kampung kecil di bagian sisi terdalam Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat.
Alumni prodi pendidikan fisika FMIPA UNY tersebut diberi tugas untuk mengajar di SMA Persiapan Warwanai serta merangkap sebagai guru di SMPN 17 Raja Ampat yang letaknya saling bersebelahan. Di SMA Ihsan diamanahi tugas untuk mengajar mata pelajaran Fisika, Bahasa Inggris, dan TIK. Sedangkan di SMP Ihsan mengajar matematika.
“Ketika mengajar matematika di SMP, saya harus kembali mengajarkan materi penjumlahan dan pembagian yang sebenarnya merupakan materi yang seharusnya mereka dapatkan di Sekolah Dasar dulu,” ungkap Ihsan. Awalnya ketika melihat beberapa anak SD bermain di luar, Ihsan mengira bahwa mereka sedang ada pelajaran olahraga yang mengharuskan mereka beraktivitas di luar ruangan. Namun belakangan menurut keterangan beberapa guru, anak-anak SD tersebut berada di luar karena di sekolah mereka tidak memiliki guru yang mengajar mereka. Hanya ada satu guru, itu pun merangkap sebagai kepala sekolah.
Setiap hari terulang kejadian yang sama. Kalaupun mereka belajar pada hari itu, mungkin hanya beberapa menit saja. Sehingga otomatis di rumah pun mereka jarang sekali belajar, karena bahan yang akan mereka pelajari pun tidak punya. Ihsan merasa naiknya mereka dari kelas VI SD ke kelas VII di SMP terkesan terlalu dipaksakan karena mereka belum memiliki dasar yang baik.
“Akhirnya kami, guru-guru yang mengajar di SMP lah yang akan kewalahan karena mereka tidak memiliki dasar yang baik sejak bangku sekolah dasar,” tutur Ihsan. Begitu juga dengan kelas IX SMP yang naik ke kelas X SMA. Dengan keadaan seperti itu, sulit untuk menyalahkan anak-anak dengan kemampuan mereka yang terlampau rendah di bandingkan dengan anak selevel mereka. Dengan keadaan ini para guru yang ada di SMP mengajarkan materi sekolah dasar, sementara materi SMP yang harusnya mereka dapatkan hanya disisipkan sesekali saja, sehingga dalam satu semester materi SMP yang tersampaikan tidak lebih dari 2 bab.
“Sebab jika dipaksakanpun hasilnya tidak akan baik, sebab mereka tidak akan memahami dengan baik karena dasar yang mereka miliki sangat minim sejak di sekolah dasar” ungkapnya. Keadaan ini seperti rantai, sehingga nanti pada akhirnya guru yang mengajar di SMA pun kewalahan karena mereka tidak punya dasar yang baik selama di SMP.
Keadaan ini membuat para guru SM3T tidak perlu memasang target materi yang harus dikejar, cukup mengajar sampai sejauh mana mereka dapat menerima dan menangkap materi. Sekilas ini mungkin terihat mudah, namun kemampuan mereka tidak sesuai dengan yang seharusnya dimiliki oleh siswa yang berada pada level mereka tadi, ditambah dengan sifat mereka yang sangat pemalu dan pendiam di kelas. Namun itulah tantangan yang harus dihadapi sebagai seorang pendidik muda.
“Saya yakin bahwa mereka sebenarnya memiliki daya tangkap yang baik terhadap sesuatu, hanya butuh lebih banyak waktu untuk merombak keadaan yang telah ada,” kata Ihsan. Jika sampai saatnya nanti, ketika anak-anak sekolah dasar telah memiliki dasar yang baik dengan bekal yang diberikan oleh guru-guru mereka, Ihsan yakin kemampuan mereka akan bisa disamakan dengan kemampuan anak-anak di sekolah lain di Indonesia. (dedy)