Quantcast
Channel: Universitas Negeri Yogyakarta - Leading in Character Education
Viewing all articles
Browse latest Browse all 3541

SARASEHAN TENTANG WAYANG KULIT DAN ISLAM TERHADAP SENI BUDAYA

$
0
0

Siapa tak kenal wayang kulit? Salah satu warisan nenek moyang yang patut dilestarikan dari generasi ke generasi.  Wayang yang berasal dari kata Wahananing Hyang ini memiliki makna sarana menuju Tuhan. Singkat kata, wayang merupakan cerminan hidup di dunia. Tak heran dalam pementasannya, wayang biasa menyajikan cerita sarat makna yang dapat dijadikan teladan bermasyarakat. Secara sederhana, wayang kulit merupakan sebuah kesenian tradisional masyarakat  Jawa yang terbuat dari kulit binatang dan diukir sedemikian rupa serta dimainkan oleh seorang dalang dan diiringi oleh musik tradisional, yakni gamelan.

Akan tetapi, pada perkembangannya eksistensi wayang seakan memudar dan tersamarkan oleh budaya asing yang dianggap lebih modern dan patut diikuti oleh generasi muda. Kondisi inilah yang membuat Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta (BEM FBS UNY) bekerja sama dengan Himpunan Mahasiswa Pendidikan Bahasa Jawa (Hijaw) menyelenggarakan acara Bincang Bimbang Mahasiswa (BBM #1) bertajuk  “Eksistensi Wayang Kulit Memudar, Siapa yang Bertanggung jawab?”  pada Rabu (24/4/2013) di Pendopo Tedjokusumo.

Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum. (Ketua Jurusan PB Jawa) selaku pembicara mengungkap keprihatinannya soal kondisi wayang saat ini. “Generasi muda cenderung lebih percaya diri dengan mengakui budaya asing daripada budaya sendiri, malahan banyak yang berkilah wayang itu tidak patut ditonton karena banyak mengajarkan kekerasan,” ujarnya. Sebenarnya, di balik semua itu wayang kulit memiliki arti dan seni yang tinggi dilihat dari ukiran dan pesan-pesan yang disampaikan oleh seorang dalang.

Dalam acara yang dimoderatori Afwas Afif (mahasiswa PB Jawa 2011), hadir pula L. Hendro H. (Korbid Pedhalangan UKM Kamasetra 2012) sebagai pembicara. Menurutnya, wayang tidak akan pudar karena selalu memiliki penikmat tersendiri. Agar eksistensi wayang tetap terjaga, minimal generasi muda mengenal para tokoh-tokohnya. “Dengan mengenal tokoh-tokoh itu saja cukup, apalagi jika mendalaminya.” Demikian tutur Hendro yang juga seorang dalang muda. Kita tinggal menentukan akan menjadi penikmat atau pelakon seni. “Kebudayaan itu tidak akan pernah punah, yang punah adalah yang melestarikan,“ tambahnya. Dalam acara tersebut, Hendro juga berkesempatan mempraktikkan kebolehannya.

Wayang kulit harus terus dan tetap dilestarikan keberadaannya. Para generasi berikutnyalah yang harus melestarikannya agar tidak hilang ditelan jaman. Jika bukan generasi muda, siapa lagi yang menjaganya. Agar semakin menarik, pagelaran harus dikemas semenarik mungkin, seperti halnya sentuhan musiknya, dan lain-lain. BBM #1 sendiri merupakan salah satu rangkaian acara Open House BEM FBS 2013.

Open House yang bertema “Keberagaman dalam Kebersamaan” sendiri telah diselenggarakan sejak 21/4/2013. Kegiatan ini diawali Onthel Bareng Sedulur, Bincang Bimbang Mahasiswa #1 (24/4/2013), Seminar Nasional Sastra dan Budaya (29/4/2013), dan Malam Puncak yang diselenggarakan pada (2/5/2013). “Acara ini terbuka untuk umum, sehingga banyak kalangan yang turut berpartisipasi,” jelas Guci Profita selaku koordinator acara.

Beberapa hari sebelumnya, meski berbeda kegiatan tetapi masih terkait dengan bincang-bincang, Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni (UKM FBS) Al-Huda mengadakan sarasehan yang bertemakan “Islam Bicara Seni dan Budaya”, Sabtu (13/4/2013). Bertempat di Stage Tari Tedjokusumo, acara tersebut mendatangkan pembicara Ust. Muhammad Jazir (Penasihat Keraton) dan Ust. M. Aga S. serta dimoderatori oleh Ust. Kuncoro yang tidak lain merupakan alumni Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNY.

Sarasehan ini merupakan kegiatan terakhir dari serangkaian acara Open House UKM-F Al-Huda. Dalam sarasehan ini para pembicara mencoba menjelaskan terkait batasan-batasan yang harus diketahui oleh para pelaku seni dalam berkarya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ust. Aga S. bahwa dalam berkesenian ada dua kemungkinan yang bisa terjadi yaitu pelaku seni yang menabrak semua rambu-rambu yang diatur dan pelaku seni yang memahami semua rambu-rambu dalam berkesenian lalu memutuskan untuk berhenti total dari kegiatan berkeseniannya. Untuk itu pehamaman terkait landasan-landasan dalam berkesenian sangat dianjurkan.

Hal berbeda disampaikan oleh Ust. Muhammad Jazir dalam pemaparannya. Ust. Jazir lebih banyak mengupas hal-hal terkait budaya di Indonesia dan mencoba membandingkan gaya berkesenian yang berkembang di Indonesia dari zaman kemerdekaan hingga saat ini. “Lagu merupakan cermin sebuah bangsa. Pada masa awal kemerdekaan lagu-lagu yang berkembang di kalangan masyarakat Indonesia adalah lagu-lagu yang mengobarkan semangat hidup namun bergeser hingga saat ini lagu-lagu Indonesia sudah mengalami penurunan dari nilai-nilai kehidupan,” tuturnya

Pada kesempatan lain Ust. Aga pun menghimbau kepada segenap pelaku seni agar menjadikan batasan-batasan berkesenian dalam perspektif Islam sebagai motivasi untuk lebih kreatif.

Hal senada pun disampaikan Apriyanto mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2011 sebagai peserta sarasehan, “Saya jadi tahu bahwa memahami batasan-batasan berkesenian dalam Islam itu penting dan untuk para pegiat seni jangan menjadikan batasan-batasan tersebut sebagai alasan untuk berhenti berkarya namun sebaliknya menjadikannya motivasi untuk lebih inovatif,” ungkapnya. (Fitri Ananda/DjWonga)

Label Berita: 

Viewing all articles
Browse latest Browse all 3541

Trending Articles