Sulitkah menjadi guru besar? Tanyakan pertanyaan itu pada para dosen di sekitar Anda. Jawabannya hampir pasti: susah. Muncul berbagai alasan, seperti: merasa belum saatnya, susah mengumpulkan kum, pertanggungjawabannya sulit, harus menemukan teori baru, atau malas mengumpulkan berkas-berkas administratif. Demikian ungkap Prof. Dr. Muhamad, M.Ag. dalam acara workshop percepatan Kenaikan Pangkat dan Jabatan Dosen FIP UNY di Hotel Telaga Mas Sarangan.
Acara yang dihadiri sekitar 100 dosen FIP UNY ini menghadirkan seorang professor muda yang produktif dan telah menerbitkan 47 buku. Beliau menambahkan bahwa butuh kerja keras untuk menghasilkan karya-karya akademik bereputasi di level nasional maupun internasional. Usia muda digunakan secara produktif untuk berkarya dan bukan sekedar mengejar jabatan-jabatan di kampus.
Alumni KTP FIP tahun 1990 ini menambahkan bahwa pekerjaan dosen adalah pekerjaan yang amat fair. Cepat atau lambatnya karir seorang dosen ditentukan oleh seberapa produktif mereka menghasilkan karya ilmiah (penelitian), mengajar dan melakukan pengabdian pada masyarakat. Bobot karya ilmiah dan pengajaran memiliki prosentase terbesar dalam penghitungan kredit. Semakin berbobot sebuah karya semakin besar nilai kredit yang diperoleh.
Bagi sebuah institusi pendidikan, banyaknya guru besar juga pastinya bermanfaat untuk akreditasi dan pengembangan institusi. Sebaliknya, institusi yang tak peduli dengan perencanaan karir dosen-dosennya juga bisa mengalami masalah. “Secara administratif, kewajiban khusus profesor juga tidak sulit-sulit amat, dalam lima tahun seorang guru besar ‘hanya’ diharuskan menghasilkan satu buah buku, satu tulisan dalam jurnal internasional, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan melalui berbagai forum ilmiah,” tutupnya. (ant)