Quantcast
Channel: Universitas Negeri Yogyakarta - Leading in Character Education
Viewing all articles
Browse latest Browse all 3541

KISAH FEBY KRISTIFANY GURU SM3T DI MOLUTANGGA FLORES

$
0
0

Molutangga merupakan sebuah desa yang kurang lebih ditempuh dalam waktu 2 jam dari kota Ende, menggunakan truk kayu sampai percabangan. Dari jalan raya masih sekitar 5 km masuk ke dalam. Jalan menuju desa tersebut masih tanah dan batu-batu lepas, dan harus melewati dua sungai yang kadang ketika banjir tidak bisa dilewati. Penduduk desa tersebut 100% beragama Katolik. Di desa tersebut berdiri sebuah SD yaitu SDN Molutangga, sebuah SD yang berada di tengah-tengah perbukitan yang baru 2 tahun berdiri.

“SD inilah yang menjadi tempat mengabdiku dalam program SM-3T. Di sinilah tempatku mengabdi kepada negaraku dengan mencerdaskan kehidupan bangsa.” Demikian cerita Feby Kristifany, guru SM3T yang ditempatkan di SDN Molutangga, Kecamatan Wewaria, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur.

SDN Molutangga merupakan sekolah baru yang memiliki gedung masih sangat darurat, yaitu terbuat dari bilik bambu, beralaskan tanah, beratap sebagian jerami dan sebagiannya dari seng. Hanya ada lima ruangan yang berukuran kurang lebih 4x4 m2, ruangan yang sangat sempit untuk mendapatkan pembelajaran yang ideal.

“Miris rasanya ketika menginjakkan kaki pertama di sini, bangku murid yang sangat memprihatinkan, yang ternyata bangku-bangku itu mereka bawa sendiri dari rumah. Beberapa murid yang orang tuanya tidak dapat membuatkan bangku maka harus menumpang di bangku temannya,” kata Feby Kristifany.

“Bahkan kursi yang diduduki guru pun meminjam kursi milik kapela. Bertambah miris rasanya ketika sudah ada kapur di tangan melihat papan tulis yang sudah berlubang di mana-mana. Mata anak-anak didiku itu dipaksa melihat tulisan di papan tulis yang menjadi terlihat samar-samar.”

Di desa Molutangga, sekolah memang belum menjadi sebuah kebutuhan, bahkan anak-anak itu masih hilang muncul dalam absennya. Gadis yang akrab dipanggil Fany tersebut berusaha menghadirkan mereka ke sekolah, bahkan hingga mendatanggi rumah mereka satu persatu dan menjemputnya ke sekolah. Ada yang mau, tapi tidak sedikit juga yang lari sembunyi. Hilang munculnya mereka bukan hanya karena belum ada keinginan untuk sekolah, namun juga muncul dari faktor orang tua.

“Kadangkala orang tua datang kepadaku dan meminta ijin anaknya tidak masuk sekolah karena harus membantu orang tuanya di sawah, di kebun, bahkan tubuh yang mungil itu harus membantu orang tuanya di hutan yang ditempuh dalam pendakian dengan jarak 5 km. Ketika pulang mereka menyunggi kayu dari hutan untuk dijual. Bayangkan jika tubuh kecil itu harus menyunggi beban di kepalanya seberat ±15 kg menuruni hutan.”

Awalnya Fany mengaku sangat sulit untuk dekat dengan mereka karena kemampuan bahasa Indonesia mereka yang sangat lemah, namun lama-lama komunikasi itu terjalin. “Saya mulai bisa berbahasa Lio Ende dan mereka mulai mengerti bahasa-bahasa Indonesia, walaupun kadang mereka tertawa terbahak-bahak jika saya mengeluarkan kata dalam bahasa Indonesia yang tidak pernah mereka dengar, dan saya harus menjelaskan arti kata-kata itu,” kata Fany.

Ketiadaan sarana dan prasarana memang tidak dipungkiri sangat mengganggu proses belajar mengajar. Minim sekali buku, hanya guru saja yang mempunyai buku. Itu saja sebatas buku paket satu buah. Seorang guru sampai dalam 1 semester ini belum pernah mengajar Kewarganegaraan gara-gara tidak ada buku. Beruntung sekali ketika itu bantuan buku dari UNY sampai di sekolah, walaupun tidak mencakup semua mata  pelajaran, namun buku-buku kiriman itu betul-betul sangat membantu.

Semester lalu ada LKS, namun harganya 15 ribu satu buah, harga yang sangat tinggi untuk orang tua siswa, sehingga LKS itu tidak mampu terbeli. Akibatnya guru harus menulis di papan tulis dan siswa mencatat. Dengan kemampuan baca dan tulis siswa yang masih belum maksimal, hal ini sangat menyita waktu. Dua orang anak kelas 5 masih mengeja untuk membaca. Untuk menulis pun mereka masih bekerja sangat keras. Kadang guru masih mengajarkan baca dan tulis yang baik untuk kelas tinggi.

Menurut Kepala Sekolah SDN Molutangga, Benyamin Fera, daya tangkap dan daya ingat mereka lemah. Hal ini karena asupan makanan yang jauh dari 4 sehat 5 sempurna. Berawal dari kata-kata itu, Fany berinisiatif menyuruh para siswa untuk membawa telur satu orang satu telur setiap Sabtu untuk mereka makan bersama agar mendapat asupan makanan bergizi. Ketika di rumah, satu telur biasa untuk 4 sampai 5 orang.

Alumni Prodi Pendidikan IPA FMIPA UNY tersebut mengungkapkan bahwa sampai saat ini yang masih susah untuk diubah adalah kesadaran mereka akan kebersihan diri terutama mandi pagi ketika sekolah dan sikat gigi. “Untuk itu, setiap pulang sekolah saya harus berpesan agar besok mereka mandi, dan untuk setiap jumat mereka diwajibkan membawa sikat gigi untuk menyikat gigi bersama,” kata Fany.

Setiap pagi Fany memeriksa kuku dan memotong kuku siswa satu persatu bagi yang masih panjang-panjang. “Mereka memberi saya banyak pengalaman yang mungkin tidak akan kutemui di tempatku berasal. Jagung, kopi, kacang mete, jeruk bali, jeruk lemon, dan kemiri kadang mereka berikan pada saya di sekolah, bahkan kadang ada yang mengantarkan ke rumah. Suatu kenangan indah ketika saya mengajarkan membuat pesawat terbang dari kertas, lalu kami lari ke atas bukit dan menerbangkannya bersama-sama. Terima kasih Tuhan..., Engkau telah mengirim saya ke sini,” tutup Fany. (dedy)

Label Berita: 

Viewing all articles
Browse latest Browse all 3541

Trending Articles