Jarak belasan kilometer ditempuhnya setiap pagi dan sore hari. Keringat yang bercucuran tidak dihiraukan. Sepeda butut tersebut selalu menemaninya dengan setia. Inilah kisah Tito Wahyu Purnomo, mahasiswa Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta. Setiap hari selama 3 semester, Tito—panggilan akrabnya—menempuh jarak dari rumahnya di desa Rewulu Wetan, Sidokarto, Godean, Sleman hingga kampus UNY Karangmalang menggunakan sepeda. Namun, Tito bukanlah mahasiswa biasa. Dia adalah lulusan terbaik SMK tingkat Kota Yogyakarta tahun 2010 dengan nilai Ujian Nasional 10 pada bidang matematika.
Pria kelahiran Sleman, 11 Juni 1992 ini, memang telah terbiasa hidup prihatin sejak kecil. Ayahnya, Slamet, seorang buruh tani dan ibunya, Sumarmi, seorang penjahit. Tito bercerita bahwa pada awalnya tidak terbersit keinginan untuk kuliah karena faktor ekonomi. Dia ingin langsung bekerja. Oleh karena itu, dia memilih sekolah di SMKN 2 Yogyakarta Jurusan Otomotif.
Akan tetapi, gurunya tidak memperbolehkannya bekerja karena melihat kepandaian Tito yang di atas rata-rata teman sekolahnya, dan menyuruhnya untuk mendaftar SNMPTN. Akhirnya, Tito berhasil diterima di Jurusan Fisika FMIPA UNY. Masalah tidak berhenti sampai di situ, biaya kuliah menjadi beban tersendiri bagi anak sulung dari tiga bersaudara tersebut. Ayahnya menenangkannya, sambil mengatakan bahwa apabila memang sudah menjadi niat Tito untuk kuliah, akan diusahakan semampunya.
Belum genap satu semester Tito kuliah, ada tawaran dari Dikti untuk mendapatkan beasiswa bidikmisi. Dan Tito berhasil lolos seleksi. Keluarga tersebut sangat bersyukur karena beasiswa ini sangat membantu biaya kuliahnya.
Pada awal kuliah hingga semester tiga, Tito biasa nglaju naik sepeda dari rumahnya sampai kampus. Memasuki semester empat, pria yang pernah mengikuti Olimpiade Sains Terapan Nasional (OSTN) SMK di Surabaya ini mulai memikirkan untuk tidak nglaju dari rumahnya karena Tito mulai aktif di kegiatan kemahasiswaan dengan mengikuti organisasi kerohanian Islam di FMIPA. Untuk kos, akan mengurangi uang saku yang diberikan oleh bidikmisi sehingga dana untuk membeli buku kurang mencukupi. Untunglah salah satu kakak angkatan di FMIPA menawari Tito untuk menjadi marbot di masjid Al Muttaqin Karangmalang.
“Marbot itu tinggal di masjid sekaligus mengurus, merawat, dan membersihkannya. Dengan kata lain, sebagai penjaga masjid,” kata Tito. “Kompensasinya adalah, saya boleh tinggal di situ dan menggunakan segala fasilitas yang ada seperti listrik dan air secara gratis.”
Ketika ditanya bagaimana cara membagi waktu antara kuliah, berorganisasi, dan mengurus masjid, Tito menjelaskan bahwa Senin hingga Kamis digunakan untuk kuliah karena Jumat off, untuk mengurus TPA anak-anak dan ibu-ibu yang diadakan pada sore hari. “Pukul 21.00 hingga dinihari saya tidur,” kata Tito.
“Biasanya saya bangun pukul 01.00 untuk belajar hingga subuh, karena pada saat ini suasana cukup tenang untuk belajar.” Tidak sia-sia perjuangan ini karena indeks prestasi kumulatif 3,70 berhasil diraihnya selama 6 semester pembelajarannya di UNY. Target pria berkacamata ini adalah menjadi dosen. Berkat bidikmisi, orang miskin pun bisa mengenyam pendidikan tinggi demi meraih cita-citanya. (dedy)