Ulang tahun tentu menjadi momentum penting bagi kita semua. Berbagai acara dan kegiatan dapat dilakukan untuk menandai momentum penting itu, lazimnaya dengan makan bersama. Lalu, bagaimana jika merayakan ulang tahun ditandai dengan launching buku? Tampaknya hal itu belum lazim. Itulah yang dilakukan oleh Dr. Wiyatmi, M.Hum., salah seorang dosen di Prodi Sastra Indonesia FBS UNY. Menandai usianya yang genap 50 tahun, Wiyatmi meluncurkan buku karyanya berjudul Kritik Sastra Indonesia: Feminisme, Ekokritisisme, dan New Historisme, sebagai salah satu bentuk ungkapan syukur.
Acara yang diselenggarakan Senin, 11 Mei 2015, pukul 13.00 ini dihadiri oleh sejawat dosen di Jurusan PBSI FBS UNY. Diawali dengan doa bersama, acara dilanjutkan paparan Wiyatmi tentang isi buku yang ditulisnya. Mengawali paparannya, Wiyatmi menegaskan bahwa buku ini ditulis sebagai salah satu bukti tanggung jawab atas pilihan hidupnya sebagai seorang akademisi yang harus terus belajar untuk membaca dan menulis. “Dan semoga, buku ini dapat menjadi tabungan amal pribadi saya, yang dapat mengalirkan kebaikan, ketika buku sederhana ini dapat bermanfaat untuk pengembangan keilmuan, khususnya bidang kritik sastra,” ungkap Wiyatmi.
Guru Besar Sastra Indonesia FBS UNY, Prof. Dr. Suminto A. Sayuti, yang didaulat menjadi pembahas utama dalam kegiatan launching kali ini, mengawali bahasannya dengan mengajak teman sejawat dosen untuk kembali menengok jati diri kita. Laiknya seorang pelancong lintas batas, tentu membutuhkan sebuah paspor. Nah, dosen sebagai “pelancong” yang mengembara di belantara keilmuan, juga memerlukan “paspor” untuk meneguhkan ke-diri-annya, yakni berupa karya tulis (buku). Lebih lanjut, Suminto menjelaskan bahwa pada awal perjalanan, seorang pelancong dapat menikmati dan melihat apa pun yang ada dihadapannya. Namun, sebagai pelancong sejati, ruang dan waktu yang menandai jejak perjalanan harus bermuara pada satu pilihan idiosyncratic (mem-pribadi).
Itulah yang membedakan dengan pelancong-pelancong lainnya. Dalam dunia keilmuan, mestinya juga berlaku rumus itu. Sebagai seorang dosen, kita bisa saja masuk dalam kategori “banyak tahu di banyak hal’. Seiring perjalanan pengembaraan keilmuannya, mestinya kita mengarah pada kategori “banyak tahu di sedikit hal’. “Itulah yang coba dilakukan oleh Wiyatmi. Di tahun 90-an, ketika masih menjadi asisten saya, Wiyatmi mempelajari dan mendalami bidang keilmuan sastra secara menyeluruh. Selanjutnya, ia menemukan pilihan pribadinya dengan menekuni kajian kritik sastra feminis dan studi gender. Itulah yang menjadi ikon Wiyatmi saat ini,” tegas Suminto.
Prakarsa Wiyatmi ini mendapatkan sambutan hangat dari sejawat dosen. Harapannya, apa yang dilakukan Wiyatmi dapat menjadi virus positif yang segera menyebar ke semua sejawat untuk menjaga dan mengembangkan tradisi literasi. Sebenarnya, hidup kita sehari-hari selalu berada dalam bentangan dua kutub, yakni kutub keaksaraan (literacy) dan kutub kelisanan (orality). Kutub keaksaraan ditandai dengan dua akvititas utama, yakni baca-tulis, sedangkan kutub kelisanan ditandai dengan aktivitas pandang-dengar.
Sebagai orang yang berada dalam kelompok insan akademis, mestinya kita harus berada dalam kutub literasi. Atau, jangan-jangan waktu kita tersita untuk aktivitas pandang-dengar. Untuk itu, marilah segera menulis sebagai ekspresi nyata kontinum aktivitas membaca. Jika lauching hasil tulisan harus menunggu momentum ulang tahun, itu hanya soal pilihan waktu. (A. Efendi)