BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing) telah menjadi aspek strategis dalam perkembangan Bahasa Indonesia dalam kancah internasional. Oleh karena itu, Kantor Urusan Internasional dan Kemitraan (KUIK) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) menggelar Program Pelatihan Guru BIPA Level 1: Metodologi Pengajaran pada tanggal 22—24 April 2015.
Pelatihan ini menghadirkan tiga pembicara yakni Nyoman Riasa, Widodo H.S., dan M. Bundhowi dari Asosiasi Pengajar BIPA (APBIPA), Bali. Ketiganya adalah pakar, instruktur dan perancang berbagai program kursus dan manajemen program BIPA.
Diikuti oleh 30 peserta yang sebagian besar berasal dari berbagai perguruan tinggi, lembaga bahasa dan sekolah internasional di Yogyakarta maupun dari luar Yogyakarta, pelatihan ini berhasil menarik minat peserta dari berbagai daerah seperti Jawa Timur dan Kalimantan Timur. Selama tiga hari, peserta diajak untuk mengenal, mendalami dan mempraktikan pengetahuan mereka tentang Metodologi Pengajaran BIPA.
Dr.-Ing. Satoto E. Nayono, M.Eng., M.Sc., Kepala KUIK, menjelaskan bahwa pelatihan ini adalah salah satu upaya UNY untuk ikut berperan dalam mengembangkan kompetensi pengajar BIPA. “Bahasa Indonesia memegang peranan penting dalam menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN. Dengan permintaan guru BIPA yang semakin meningkat, dengan pelatihan ini, kita dapat meraih banyak peluang,” terangnya.
Widodo HS., menerangkan bahwa tuntutan zaman untuk mengembangkan BIPA tidak bisa dihindari karena secara historis bahasa Indonesia tidak pernah dikaji selama masa kolonial. Masyarakat Indonesia memiliki bahasa yang perlu ditumbuhkembangkan.
“Lahirnya BIPA sendiri dimulai dari orang asing yang ingin mempelajari bahasa Indonesia. Masyarakat Indonesia bertanggungjawab secara moral untuk mempertahankan dan mengembangkan bahasa persatuan tersebut. Bahasa Indonesia lahir dari sumpah pemuda. Kita harus melestarikan bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa,” tandasnya.
Sementara itu, Nyoman Riasa menjelaskan bahwa program BIPA telah mengalami diversifikasi dilihat dari pengembangan ilmu maupun ekonomi. “Pengajar BIPA perlu mempunyai komptensi metodologi. Kita sebagai penutur asli Bahasa Indonesia bukanlah semata-mata modal utama untuk mengajar BIPA,” tegasnya.
M. Bundhowi sendiri melakukan pendekatan yang unik dalam mengajarkan BIPA. Pelukis, fotografer, kartunis, dan intruktur BIPA ini mengajak seluruh peserta untuk memperdalam pemahaman lintas budayanya dan menggali kreativitas mereka dalam mengolah dan mengembangkan media pembelajaran BIPA.
“Pelatihan ini memberikan saya kesempatan untuk mempelajari berbagai materi terkait pengajaran BIPA sekaligus mempraktikkannya. Bertemu dengan pemateri yang menginpirasi serta rekan-rekan pengajar BIPA membuat saya menunggu-nunggu forum selanjutnya,”ujar Sheila Gumiwang Cascales, peserta dari Lembaga Indonesia Spanyol.
Mengingat BIPA adalah fenomena baru, pelatihan ini adalah terobosan strategis untuk merespon tuntutan permintaan pengajar BIPA. Pelatihan ini merupakan aktivitas konkret untuk pengembangan BIPA. Sudah sepatutnya hal ini diperhatikan untuk pertumbuhan dan perkembangan BIPA dengan melibatkan lebih banyak orang untuk mengambil peran bagi kemajuan BIPA. (Yuliana)