Forum Ilmu Sosial Transformatif (FISTRANS) Institute, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta (FIS UNY) menggelar diskusi perdana tahun 2013 di ruang Ki Hajar Dewantara belum lama ini. Diskusi dengan tema “Negara dan Perubahan Sosial di Dataran Tinggi Dieng” tersebut dihadiri oleh dosen dan mahasiswa di lingkungan FIS UNY. Dekan FIS UNY, Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M.Ag., sangat mengapresiasi kerja keras tim Fistrans Institute dan berharap diskusi dapat menumbuhkan budaya akademik di lingkungan FIS UNY.
Dalam diskusi tersebut, tim Fistrans Institute FIS UNY menghadirkan Hery Santoso, M.Si. dari Universitas Gajah Mada (UGM) dan Yanuardi, M.Si. dari FIS UNY sebagai pembicara. Hery menjelaskan bahwa desa hutan dengan segenap masyarakatnya, agaknya memang tak bisa mengelak dari situasi yang menyerupai oposisi biner: mereka adalah tempat nostalgia yang diwarnai romantisme tetapi juga cemoohan. Desa hutan acap kali dipersepsikan sebagai ranah pedalaman.
Daerah pedalaman juga dikaitkan secara negatif dengan keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, kekacauan, dan pembangkangan dengan sikap keras kepala untuk hidup sebagai warga negara yang normal. Dengan demikian, sadar ataupun tidak, wilayah pedalaman telah menjadi ruang yang dibayangkan atau mitos ruang, yang secara sistematis membentuk prasangka-prasangka dalam diri para perancang kebijakan–juga peneliti dan aktivis sosial–untuk senantiasa melakukan campur tangan, baik atas nama pembangunan maupun pemberdayaan.
Kendati demikian, Hery menambahkan, ada juga banyak citra yang sebaliknya: wilayah-wilayah pedalaman seperti desa hutan selalu dikaitkan dengan kebebasan dan kesatuan antara sesama anggota masyarakat dengan lingkungannya. Mereka setidaknya mempunyai latar belakang kearifan lingkungan yang sudah berabad-abad. Mereka telah lama berada di satu tempat di mana mereka mempunyai ikatan spiritual ataupun pragmatis. Mereka homogen, tanpa pembagian kelas. Mereka tidak digerakkan oleh motivasi eksploitasi dan ketamakan. Kebutuhan konsumsi mereka terbatas dan keinginan kolektif mereka berfokus pada pengelolaan sumber daya hutan jangka panjang dan berkelanjutan agar dapat dimanfaatkan oleh generasi masa depan.
Dalam kesempatan yang sama, Yanuardi menyoroti tentang “Dinamika Politik Kontrol Negara di Dataran Tinggi Dieng”. Menurutnya, Kawasan Dieng adalah area resapan air bagi hulu-hulu sungai yang mengaliri 12 kabupaten di Jawa Tengah. Selain itu, juga sebagai sumber air untuk PLTA. Namun hutan lindung yang luasnya ± 4.256,80 ha tersebut sebagian besar sudah rusak, misalnya di daerah tujuan wisata seperti Telaga Warna dan kawasan candi.
“Melihat kondisi Dieng yang merupakan representasi masalah hutan negara, pemerintah harus mencari solusi masalah ekonomi komunitas di sekitar area hutan, mempertimbangkan, dan melibatkan jaringan ekonomi yang telah eksis, serta meresolusi konflik antar-lembaga negara terkait” tuturnya. (Eko)