Saat berjalan di koridor sekolah, sontak terdengar suara gaduh di karena saat dia hendak masuk kelas, anak-anak itu sedang asyik bermain. Semua bubar, masuk kelas tak beraturan. “Selamat pagi Bapak Guru," sapa siswa di SD-SMP Batom. Ketua kelas memberi komando dengan memukul meja. Tanpa aba-aba, siswa mengikuti komando itu. Inilah kisah hari pertama guru SM3T UNY M. Fatkhul Damanhury mengajar di SD-SMP Batom, Distrik Batom, Kab. Pegunungan Bintang, Provinsi Papua.
Untuk pertama kalinya SM3T UNY ditempatkan di Papua, setelah sebelumnya ditempatkan di Provinsi Aceh, Kalimantan Utara dan Nusa Tenggara Timur. Di sekolah yang berdinding papan dan beratap seng, siswa menuntut ilmu tanpa bersepatu. Namun meskipun kondisi mereka serba terbatas, senyum ceria tetap terpancar diwajah mereka. Kondisi SD di Batom cukup sederhana. Ruang bekas kelas 4 disulap jadi ruang guru. Terdapat beberapa meja dan kursi serta 1 meja dan 1 kursi khusus untuk kepala sekolah. Di sebelahnya terdapat 2 lemari usang. Masing-masing lemari tersimpan buku pelajaran SD dan SMP. Tepat di pojok terdapat beberapa sapu lidi, stok kapur satu dus, dan sebuah mesin ketik yang tidak terpakai lagi. Sekolah ini masih menggunakan papan dan kapur tulis dalam pembelajaran kesehariannya.
Alumni prodi PPKn FIS UNY tersebut mengajar di kelas 2 dan kelas 9. Saat mengajar di kelas 2, Hury, demikian dia disapa, memberikan soal berupa tulisan pada muridnya untuk disalin. “Saya berkeliling melihat tulisan-tulisan mereka” kata Hury. “Ada yang sudah bagus, ada pula yang masih kesulitan.” Hury membantu secara perlahan setiap siswa yang bermasalah, karena setelah diamati banyak yang sulit menulis daripada yang lancar. Dengan ini, Hury mengetahui kemampuan awal kelas 2. “Kami perlu kerja ekstra untuk mengajari mereka menulis, belum lagi nanti belajar membaca dan berhitung” kata Hury.
Di distrik-distrik Kabupaten Pegunungan Bintang alat tranportasi utama adalah pesawat, termasuk di Batom. Alat transportasi yang lain adalah kapal dan berjalan kaki. Suatu hari saat Hury sedang mengajar, terdengar suara terdengar suara pesawat terbang dari arah utara sekolah. "Pesawat-pesawat" ucap para siswa sembari ribut sendiri di kelas, dan tetiba sebagian dari mereka berhamburan ke luar. "Kalian mau kemana?" tegur Hury, siswa yang lari paling belakang menjawab, "Lihat pesawat pak guru”.
Warga Turi, Sleman, Yogyakarta tersebut merasa heran. Namun dengan gesit Hury menutup pintu kelas. Terdengar suara pesawat terbang kembali. Dari jendela anak-anak yang tadi keluar terlihat berjalan ke sekolah dari arah bandara. Setelah kejadian itu disampaikan pada Kepala Sekolah, Supardi, beliau mengatakan bahwa memang sering terjadi hal seperti itu karena bandara menjadi hiburan sekaligus tempat mencari nafkah.
“Ke bandara untuk lihat pesawat merupakan hiburan bagi mereka, karena di sini jauh dari hingar bingar kota” kata Supardi, “sekaligus sebagai tempat mereka mencari nafkah sebagai tukang angkat barang.” Anton, salah satu anggota Pos Penjaga Perbatasan Indonesia – Papua Nugini menambahkan bahwa tukang angkat barang di bandara Batom dibayar mahal, bisa sampai Rp. 200.000 sekali angkat.
"Kelihatannya banyak, namun harga barang di sini juga mahal, sebungkus mie instan harganya Rp. 5.000" ungkap Anton. Tidak mengherankan, karena semua barang yang masuk ke Batom harus dikirim melalui pesawat. Di Batom terdapat pos TNI penjaga perbatasan dari Batalyon 515, Jember Jawa Timur. Anggotanya berjumlah 22 orang dan 4 orang di antaranya membantu mengajar di SD. M. Fatkhul Damanhury akan bertugas di Batom, Pegunungan Bintang, Papua hingga September 2015. (dedy)