Dari Bandara Polonia Medan, kami mulai melakukan perjalanan darat selama kurang lebih12 jam dengan menggunakan mobil travel. Berdasarkan informasi dari Bapak koordinator travel, kami akan melakukan perjalanan darat pada malam hari dengan medan yang terbilang cukup ekstrem karena harus melawati hutan dengan banyak jurang di samping kanan-kirinya. Namun demikian, kami diminta untuk tidak takut karena sopir yang akan menyertai kami adalah sopir handal yang sudah terbiasa dengan medan ekstrem seperti itu. Tepat setelah waktu maghrib kami mulai meninggalkan kota Medan untuk menuju ke Gayo Lues.
Ketika masih berada di sekitar kota Medan, jalan yang kami lalui masih seperti jalan yang biasa dilalui ketika masih di kota kelahiran. Ketika sudah jauh meninggalkan kota Medan, mulai terasa adanya perbedaan pada jalan yang kami lalui. Jalan yang kami lalui mulai sering menanjak, berkelok-kelok dan tidak ada lampu lalu lintas bahkan lampu penerangan jalan sekalipun. Memang, berdasarkan informasi yang kami peroleh sebelumnya, kabupaten Gayo Lues terletak di wilayah berbukit-bukit hingga mendapatkan julukan negeri seribu bukit.
Oleh karena itu, kami tidak terlalu terkejut ketika melewati jalan seperti itu. Sepanjang perjalanan kami hanya bisa melihat dalam radius kurang lebih 10 meter dari depan kendaraan. Jurang dan pemandangan di kanan-kiri jalan juga tidak bisa kami lihat dengan begitu jelas karena memang ini adalah perjalanan pada malam hari dengan penerangan jalan yang sangat minim.
Demikian dikisahkan Devi Ariza Nugraheni, S.Pd.Si. Devi merupakan salah satu peserta SM3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) Universitas Negeri Yogyakarta yang ditempatkan di SMPN 3 Terangun, Gayo Lues, Aceh.
SM3T merupakan bagian dari program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia yang diprakarsai oleh Direktorat Pendidik dan Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam program ini, para sarjana pendidikan direkrut, dipersiapkan, dan diterjunkan di wilayah pengabdian. Selain mengajar, mereka juga melakukan kegiatan kemasyarakatan.
“Saya bersyukur karena saya tidak sendirian di sana dan di daerah tersebut kebutuhan seperti listrik, air, dan jaringan komunikasi sudah tersedia” kata Devi. “Saya ditugaskan di SMPN 3 Terangun bersama 5 orang teman.” Pagi harinya alumni Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY tersebut bersama SM3T angkatan 1 berangkat ke sekolah bersama dengan berjalan kaki. Pada saat itu belum terbayang di benak gadis desa Sobrah Gede, Buntalan, Klaten Selatan ini bagaimana jalan yang harus dilalui untuk sampai ke sekolah.
Banyak hal yang dijumpai di sepanjang perjalanan. Anjing, kerbau, sapi, dan kambing lalu lalang di tengah jalan bukanlah pemandangan yang aneh di sini meskipun hal tersebut akan menjadi sangat aneh di kota kelahirannya. Hewan-hewan tersebut dibiarkan berkeliaran sendiri oleh pemiliknya. Untunglah hewan-hewan tersebut sudah jinak sehingga tidak mengganggu. Seringkali rombongan harus mengalah untuk berhenti sejenak di jalan menunggu segerombolan sapi atau kerbau yang sedang lewat. Dalam bahasa Gayo, kerbau disebut kuru sebuah kata yang berbeda arti dengan bahasa Jawa di mana kuru berarti kurus. Rumah-rumah penduduk di sini juga sedikit berbeda. Sebagian besar rumah merupakan rumah panggung yang terbuat dari papan-papan kayu.
Setelah berjalan kaki kurang lebih 6 km selama satu jam lebih sedikit, akhirnya Devi beserta rombongan sampai di SMPN 3 Terangun yang terletak tepat di atas bukit kecil dikelilingi oleh bukit-bukit yang lain. Jalan menuju sekolah cukup jauh dari tempat tinggal dengan jalan berkelok-kelok dan terkadang menanjak. SMPN 3 Terangun merupakan sekolah baru yang berdiri kurang lebih 2,5 tahun yang lalu. Bangunannya masih sederhana namun cukup nyaman, terdiri dari 1 ruang guru, 1 ruang kepala sekolah, 1 lab komputer, ruang perpustakaan, 4 ruang kelas, 1 ruang penjaga sekolah, dan 1 ruang kantin. Karena terbatasnya ruang kelas, sekolah terpaksa memberlakukan sekolah sore untuk kelas VII.
Hari pertama masuk sekolah digunakan untuk berkenalan dengan semua guru, staf, karyawan dan siswa-siswi SMPN 3 Terangun. “Dengan bantuan teman-teman SM3T angkatan pertama, kami dapat melalui hari itu dengan baik. Semua guru, staf, karyawan, ataupun siswa-siswi dapat menerima kehadiran kami dengan sangat baik,” kata Devi. “Selama satu minggu, kami ditemani teman-teman SM3T angkatan 1 mulai bersosialisasi dan menyesuaikan diri di tempat kami bertugas. Sejak saat itu kami mulai berjuang sendiri melaksanakan tugas kami mengajar dan mengabdi untuk mencerdaskan anak bangsa.” (dedy)