Perjuangan para guru SM3T di luar Jawa sungguh luar biasa. Bukan hanya menghadapi situasi belajar mengajar penuh keterbatasan namun juga harus menempuh perjalanan yang jauh berbeda dengan yang ada di Jawa demi menularkan ilmu pada siswa di daerah terdepan, terluar dan tertinggal. Salah satunya adalah Firdaus Laili yang ditempatkan di SMA Negeri 12 Malinau. Ini merupakan sekolah baru di sana yang terletak di Desa Long Pada, Kecamatan Sungai Tubu, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara. SMA Negeri 12 Malinau adalah satu-satunya Sekolah Menengah Atas di Kecamatan Sungai Tubu. Selain itu, di kecamatan ini juga ada SMP Negeri 2 Mentarang yang merupakan satu-satunya Sekolah Menengah Pertama yang ada di Kecamatan Sungai Tubu.
Perjalanan menuju Long Pada ditempuh dalam waktu dua hari satu malam, namun perjalanan bisa ditempuh dalam waktu sehari bila cuaca cerah dan arus sungai bersahabat. Tidak jarang para musafir tersebut harus menginap di hutan karena kendala alam bila tetap melanjutkan perjalanan. Firdaus Laili mengatakan bahwa selama menjadi pengajar SM3T di sana perlu mempersiapkan beberapa barang dan bahan makanan diantaranya perabot rumah tangga seperti kompor minyak, beras, minyak tanah, mie instan, dan lain-lain.
“Semua barang dan bahan makanan harus kami bawa dari kota karena di Desa Long Pada tidak ada toko atau penjual” kata Firdaus. Selain itu diperlukan pelampung (life vest) untuk perjalanan menuju ke lokasi karena menggunakan alat transportasi perahu kecil yang disebut ketingting. Selain itu juga sepatu blabak karena selama perjalanan akan sering berjalan melewati bebatuan yang licin. Sepatu ini terbuat dari karet dan mempunyai beberapa pool di bagian bawah.
Dari Malinau pukul 04.30 WITA perjalanan ditempuh menggunakan mobil ke Desa Pulau Sapi, dan dari desa inilah petualangan seru dimulai. Perjalanan menuju Desa Long Pada menggunakan long boat, perahu yang dapat diberi muatan 6 orang. Firdaus Laili dalam perjalanan ini dibersamai oleh Sekretaris Disdikpora Malinau, Maranderson dan Kabid Pendidikan Kab. Malinau, FX Brata menuju penempatan lokasi SM3T Long Pada. Alumni Prodi Pendidikan Bahasa Inggris UNY tersebut mengisahkan bahwa di awal perjalanan mereka menyusuri sungai yang besar dan berair keruh.
“Pada pukul 12.30 WITA kami sampai di sebuah jeram,” katanya. Untuk bisa melewati jeram ini, semua penumpang kecuali motoris dan juru batu harus turun untuk mengurangi beban yang dibawa long boat. Kemudian penumpang berjalan di antara bebatuan di pinggir sungai sambil melihat motoris dan juru batu berjuang mengendalikan long boatnya melawan derasnya jeram. “Setelah jeram pertama dilewati, jeram yang harus kami taklukkan pun semakin banyak dan kami pun harus turun naik long boat” ujar Firdaus.
“Ada satu jeram besar di mana tidak hanya penumpang yang harus turun, tapi kami juga harus menurunkan barang-barang bawaan kami.” Saat akan melewati jeram yang besar, long boat harus mengurangi beban yang dibawa sebanyak mungkin untuk meminimalisir terjadinya long boat karam. Menurut warga setempat, tidak jarang long boat atau ketingting karam atau menabrak batu saat melewati jeram. Oleh sebab itu, pengalaman dan kekompakan motoris dan juru batu sangat vital dalam mengendalikan perahu yang dibawa mereka terutama saat melewati jeram.
Pada pukul 15.00 WITA long boat berhenti di suatu tempat dan di sana telah siap ketingting. Ketingting digunakan karena sungai yang akan dilalui semakin kecil dan semakin banyak jeram berbahaya yang harus dilewati. Ketingting memiliki ukuran yang lebih kecil dari long boat sehingga perahu ini mampu melewati jeram jeram kecil yang deras dan banyak batunya. Karena jeram semakin banyak dan semakin banyak bebatuan di tengah sungai, kami semakin sering turun naik perahu, berjalan di pinggiran sungai, menyusuri semak belukar di bawah pepohonan yang besar-besar dan menjulang tinggi. Bahkan ada beberapa jeram di mana ketingting harus diikat dengan tali dan kemudian ditarik karena terlalu beresiko jika ketingting dijalankan dengan mesin saat melewati jeram-jeram yang berbahaya.
Pukul 19.00 WITA nampak cahaya di depan sungai, di sanalah desa Long Pada. Desa ini belum memiliki listrik, hanya ada beberapa rumah yang terang karena menghidupkan listrik dengan menggunakan mesin genset. Di sinilah Firdaus Laili mengabdi sebagai guru SM3T (Sarjana Mengajar di Daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal) selama setahun. (dedy)