SM3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) merupakan salah satu program pemerintah untuk memajukan daerah 3T yang dimaksudkan untuk membantu mengatasi kekurangan guru, sekaligus mempersiapkan calon guru profesional yang tangguh, mandiri, dan memiliki sikap peduli terhadap sesama, serta memiliki jiwa untuk mencerdaskan anak bangsa. Para sarjana SM3T tersebut akan berada di daerah 3T selama setahun dan setelah itu akan kembali ke LPTK (Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan) yang mengirimkannya untuk mengikuti PPG selama setahun juga.
Sekarang SM3T telah memasuki periode IV dan UNY sebagai salah satu LPTK penyelenggara SM3T tahun 2014 mengirimkan 233 orang peserta SM3T ke enam kabupaten yaitu Gayo Lues Aceh, Malinau Kalimantan Utara, Ngada dan Alor di NTT serta Raja Ampat dan Pegunungan Bintang di Papua. UNY merupakan peserta SM3T baru di Alor, Raja Ampat, dan Pegunungan Bintang.
Salah satu peserta SM3T yang ditempatkan di Raja Ampat Papua Barat adalah Nursusetya Wibawa, S.Pd. yang ditempatkan di SMPN 5 Raja Ampat. Sekolah ini terletak di Kampung Kalobo, Distrik Salawati Tengah, Raja Ampat. Nursusetya Wibawa, S.Pd mengisahkan bahwa Kampung Kalobo merupakan merupakan kampung transmigran dari Jawa yang mulai mendiami daerah ini sejak tahun 1980.
“Di sini kami disapa menggunakan bahasa Jawa,” kata Nursusetya Wibawa, S.Pd. “Pertama yang terbesit dalam pikiran kami adalah kami seperti tidak sedang berada di Papua karena di sini kami juga berbicara dengan bahasa Jawa, seperti berada di rumah sendiri.” Pria kelahiran Yogyakarta, 13 Februari 1991 tersebut mengatakan bahwa di kampung ini terdapat satu sekolah dasar, dua sekolah menengah pertama yaitu SMPN 5 Raja Ampat dan MTs. Kalobo, serta dua sekolah menengah atas yaitu SMAN 8 Raja Ampat dan MAN Kalobo.
Menurut alumni Prodi Pendidikan Fisika FMIPA UNY tersebut, saat pertama kali akan memulai tugas di sekolah, yang terpikirkan di benaknya adalah bahwa dia akan menjumpai anak-anak yang nakal dan sulit untuk diatur. Namun ternyata pikiran itu segera sirna setelah melihat sendiri bagaimana anak-anak di sini.
“Memang tidak bisa kita bandingan dengan di tempat saya tinggal di Jogja,” kata Nursusetya Wibawa, S.Pd. “Namun untuk ukuran daerah yang jauh dari ketersediaan fasilitas, apa yang bisa kami lihat di sini sudah cukup membuat kami merasa bersyukur. Penerus masa depan bangsa, entah itu anak pribumi maupun pendatang, begitu semangatnya belajar dengan segala keterbatasan yang ada. Anak-anak di sini bahkan ada yang harus berjalan lebih dari 5 km hanya untuk mendapatkan ilmu di sekolah.” Nursusetya Wibawa, S.Pd berharap agar yang mereka lakukan di sini sesuai dengan yang mereka butuhkan sekaligus membawa misi, bersama mencerdaskan Indonesia. (Dedy)