Layanan prima wajib diberikan kepada para dosen, mahasiswa, dan juga stakeholders. Untuk meningkatkan mutu pelayanan tersebut, PPs UNY berinisiatif menggelar pelatihan layanan prima bagi karyawan bekerjasama dengan Lusy Laksita Partner in Communications. Acara yang bertajuk “One Day Training Excellent Service: Melayani dengan Penuh Pesona” tersebut, dipandu langsung oleh Lusy Laksita, seorang Master Trainer yang ahli di bidang broadcasting, Public Relations, dan pengembangan diri. Pelatihan yang digelar di Grage Ramayana Hotel pada Sabtu (6/9/2014) tersebut diikuti oleh 25 peserta yang berasal dari beberapa perusahaan dan institusi yang ada di Yogyakarta, termasuk PPs UNY. Materi pelatihan dibagi menjadi 2 sesi, yaitu: Communication Skills dan Excellent Service.
Communication Skills sendiri dikupas lebih mendalam tentang bagaimana cara memahami komunikasi itu sendiri. Selanjutnya, komunikasi yang perlu dipahami adalah komunikasi verbal yang berupa lisan & tulisan dan non verbal yang mencakup bahasa tubuh. “Komunikasi nonverbal merupakan komunikasi yang paling penting dipahami karena itulah yang paling awal terlihat jelas. Kontak mata, sikap tubuh, pesan tubuh, bahkan pakaian yang kita pakai merupakan bentuk komunikasi dan pesan yang disampaikan kepada orang lain,” paparnya.
Mama Lusy, panggilan akrabnya, lebih lanjut membahas pentingnya berbicara dan menjadi pendengar yang baik. Menyampaikan suatu pesan kepada orang lain dalam hal ini konsumen atau mahasiswa serta stakeholders harus jelas, tidak berbelit, dan smiling voice. “Suara kita seolah-olah tersenyum, renyah, ramah, dan itu sangat terdengar jelas ketika kita berbicara dan melayani dengan tulus,” tambahnya. Being a good listener juga hal mendasar yang perlu dipahami. “Menjadi pendengar yang baik sangatlah sulit, sehingga gunakan telinga dan hati untuk mendengarkan setiap pembicaraan, keluhan, dan komplain dengan tulus. Diam dan memperhatikan, jangan ke depankan emosi,” lanjutnya.
Pada sesi kedua, materi lebih pada excellent service, etiket, dan complaint handling. Kesan pertama pada diri seseorang yang terlihat adalah personal image atau gambaran diri. Untuk memberikan pelayanan prima, diri kita juga harus tampil prima, rapi, sedap dipandang, memancarkan sikap positif, dan inner beauty. “Jangan jadi PNS atau Pegawe Nganggo Sandal (pegawai memakai sandal-red) ketika melayani konsumen, itu tidak excellent. Tampilan di kantor ya gunakan baju yang rapih, rambut tertata, dan memakai sepatu, bukan sandal.” paparnya.
Prinsip dasar pelayanan prima meliputi 3 hal, yaitu sikap mencakup cara bersikap sopan dan serasi, perhatian terhadap situasi, dan tindakan yang berarti merespon dengan pelayanan. Pelayanan prima dapat terlihat dari SDM yang baik, sarana dan prasarana yang memadai, dan produk atau jasa yang diberikan berkualitas.
Etiket lebih pada tata cara pergaulan yang baik antar manusia. Bagaimana kita bersikap sopan, ramah, perhatian kepada orang lain, menjaga perasaan orang lain, memiliki tolerasi, dan lain sebagainya. Manfaat etiket yaitu, kita menjadi disegani, dihormati, disenangi, serta mendapat hubungan baik.
Dalam complaint handling kita harus mengedepankan strategi menghadapi dan menyelesaikan keluhan konsumen. Konsumen sering melayangkan komplain ketika tidak mendapat pelayanan yang efisien atau lama, produk tidak sempurna, informasi kurang jelas, dan lain sebagianya. Cara menghadapinya, kita harus bersikap siap menerima keluhan dan siap pula memberikan solusi. Kaji keluhan dengan profesional dan jangan pernah menyalahkan konsumen, serta berikan informasi dan solusi. “Hadapi konsumen yang emosi dengan sikap peduli, konsentrasi, kontrol emosi, jangan salahkan karyawan lain, dan ajaklah konsumen berdiskusi bukan berdebat,” lanjutnya.
Para peserta pelatihan terlihat sangat antusias dengan adanya pelatihan tersebut. Ada beberapa pertanyaan yang dilayangkan dan dijawab dengan memuaskan oleh Mama Lusy. Rohmat Purwoko, salah satu peserta pelatihan dari PPs UNY, menyampaikan bahwa dengan adanya pelatihan layanan prima membawa manfaat yang signifikan untuk meningkatkan pelayanan kepada mahasiswa, dosen dan stakeholder.
“Betapa tidak, dengan pelatihan ini membuka mata kita bahwa ada media komunikasi lain selain bahasa lisan (verbal) yang mungkin kita tidak tahu dan sering kita lupakan, yaitu media komunikasi dengan bahasa nonverbal. Kita sering mengucapkan “Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?” namun gesture kita tidak mencerminkan kesiapan memberikan pelayanan karena masih belum selesai dengan kesibukan lain,” tutupnya. (Sinta)