Kurubhoko dalam bahasa Tanawolo berarti rumput pendek. Tempat ini dulunya bernama Tanawolo, dusun kecil di Desa Nginamanu, Kecamatan Wolomeze, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Padang rumput yang luas menjadi pemandangan setiap harinya. Di tanah itu pula berdiri sebuah bangunan sekolah, SMPN Satu Atap Kurubhoko yang menjadi satu lokasi dengan SD Inpres. Sekolah ini adalah satu-satunya SMP di Tanawolo, sekolah kecil yang hanya terdiri dari empat bangunan saja. Inilah kisah Nur Hidayah, guru SM3T UNY.
Kurubhoko terkenal sebagai daerah bukit gersang yang sulit air, apalagi ketika musim kemarau. Namun semangat masyarakat untuk maju, tidak segersang kondisi alamnya. Menurut Alumni Prodi Pendidikan Biologi FMIPA UNY tersebut, setiap pagi murid-muridnya menuruni bukit berbatu untuk sampai di sekolah. Di punggungnya melekat tas berisi buku yang sudah kumal sebagai senjata mereka untuk mencatat materi yang diajarkan. Tangan mereka tak pernah kosong setiap datang ke sekolah. Setiap anak membawa satu jerigen air untuk memenuhi bak sekolah. Namun pemandangan menjadi berbeda saat musim kemarau tiba.
“Saya tak lagi melihat mereka berpakaian rapi dan bersepatu, karena sepatu mereka lepas karena musim hujan membuat kondisi tanah berlumpur,” kata Nur Hidayah. Begitu juga saat musim pesta dan acara adat berlangsung pada kisaran bulan September sampai November. Pemdangan sekolah menjadi sepi karena anak-anak kebanyakan memilih ikut acara adat.
Warga Demblaksari, Kalangan, Baturetno, Bantul tersebut mengisahkan, banyak cerita menyentuh dari Tanawolo. Di antaranya Siprianus Bhara Meko, yang sangat rajin mengingatkan padanya tentang rasa syukur akan pemberian Tuhan. “Ketidaksempurnaan kakinya membuat saya sadar bahwa Tuhan masih memberi nikmat yang lebih,” kata Nur Hidayah.
Murid kelas IX SMPN Satu Atap Kurubhoko itu biasanya mendapat tugas untuk membersihkan asrama ketika yang lain pergi mencari kayu dan menimba air. Teman-teman yang lain tidak tega mengajaknya mencari kayu. Meskipun tidak sempurna secara fisik, namun ia memiliki semangat tinggi untuk lebih maju dari teman yang lain. Saat belajar santai di halaman sekolah, dialah yang paling aktif bertanya. Ia memilih untuk tidak bersekolah di SLB karena kemampuannya sama dengan yang lain serta jarak SLB yang jauh dari tempat tinggalnya. Setelah lulus SMP pun ia memilih untuk melanjutkan di SMK di Maumere Jurusan Perhotelan.
Kondisi masyarakat di sini seperti memberi penjelasan bahwa inilah Indonesia Timur yang memiliki kekayaan alam dan budaya yang luar biasa. Hidup di tengah masyarakat yang berbeda budaya, pola hidup bahkan keyakinan berbeda memang berat jika dibayangkan. “Kebersamaan dengan mereka kelak akan membuat kenangan tersendiri dalam perjalanan pengabdian pada Negara,” tutup Nur Hidayah. (dedy)