Filsafat adalah ilmu pengetahuan mengenai segala sesuatu dengan memandang sebab-sebab yang terdalam, juga bisa diartikan sebagai suatu pencarian dengan kekuatan sendiri tentang hakikat segala wujud, yang bersifat mendalam dan mendasar. Filsafat Jawa lebih menekankan pentingnya ngelmu kasampurnan tempat manusia mencurahkan seluruh eksistensinya, baik jasmani maupun rohani, untuk mencapai tujuan kesempurnaan hidup. Selain ngelmu kasampurnan, filsafat Jawa juga menekankan ngelmu sangkan paraning dumadi yang dimaknai sebagai suatu ajaran yang menangani gerak rohani untuk menyatu di dalam arus kehidupan secara benar-benar hidup sebagai kenyataan hidup sejati.
Ajaran-ajaran ngelmu kasampurnan dan ngelmu sangkan paraning dumadi dalam filsafat Jawa inilah yang tercermin dalam metafisika, epistimologi, dan aksiologi Jawa. Demikian diungkapkan Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M.Pd. dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Filsafat Jawa pada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Pidato berjudul “Filsafat Jawa Sebagai Sumber Pendidikan Karakter” itu dibacakan di hadapan rapat terbuka Senat UNY di Ruang Sidang Utama Rektorat UNY, Rabu, 10 September 2014. Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M.Pd. merupakan guru besar UNY ke-124.
Lebih lanjut lulusan Doktor Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada tersebut mengatakan bahwa dalam metafisika Jawa tercermin hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam semesta yang mempunyai karakteristik pengakuan tentang kemutlakan Tuhan. Aksiologi Jawa tercermin dalam ngelmu kasampurnan dan ngelmu sangkan paraning dumadi yang menjadi pedoman kehidupan orang Jawa lahir dan batin. “Kekayaan filosofi Jawa juga sejalan dengan nilai-nilai pembentuk karakter,” kata Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M.Pd. “Terutama nilai religius dan ketaatan beribadah, kejujuran, toleransi, kedisiplinan, kerja keras, kemandirian, demokratis, bersahabat/komunikatif, cinta damai, peduli lingkungan, peduli sosial, keikhlasan, keadilan, dan tanggung jawab.”
Pendidikan karakter merupakan pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak untuk mengembangkan kemampuan peserta didik memberikan keputusan apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang hal yang baik sehingga peserta didik menjadi paham mana yang baik dan buruk serta mampu merasakan dan melakukan hal-hal yang baik.
Pria kelahiran Gunungkidul, 1 September 1959 tersebut menyimpulkan bahwa filsafat Jawa seperti ngelmu kasampurnan (ilmu kesempurnaan hidup), ngelmu sangkan paraning dumadi (ilmu asal-usul dan tujuan akhir kehidupan), merupakan sumber pendidikan karakter. Selain kedua ngelmu tersebut, filosofi Jawa yang tertera dalam Serat Wedhatama tentang tahapan sembah, yaitu sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa yang merupakan ajaran pencapaian kesempurnaan hidup manusia.
Sembah raga adalah membiasakan diri bertindak disiplin melakukan hening diri, sehingga kebiasaan itu akan menjadi watak. Sembah cipta merupakan perpaduan antara sembah raga dengan ditambah proses konsentrasi, dengan mengikuti peraturan-peraturan yang berlaku, mengekang hawa nafsu, serta bertindak dan berkata-kata dengan waspada. Sembah jiwa merupakan sembah yang dipersembahkan kepada Tuhan, yakni dengan jalan selalu memelihara kehidupan rohani, selalu waspada dalam perbuatan, dan selalu ingat datangnya hari kemudian sehingga hal ini akan semakin mendorong manusia untuk berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sementara pada sembah rasa, bukan lagi kegiatan ritual yang menjadi titik pusat aktivitas, melainkan semua anggota badan, semua langkah kaki, semua kegiatan hidup serasa mendapat rasa pasrah berserah diri dalam menunaikan kewajiban, tak lagi ragu-ragu serta penuh harap, bahwa perbuatannya itu hanya diperuntukkan untuk kedamaian hidup. (dedy)