Secara umum anak tunarungu dapat diartikan anak yang tidak dapat mendengar. Secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan anak dengar pada umumnya, sebab orang akan mengetahui bahwa anak menyandang ketunarunguan ketika mereka berbicara. Anak tersebut berbicara tanpa suara atau kurang terdengar suaranya dan tidak jelas artikulasinya, bahkan kemungkinan hanya dapat berisyarat. Jadi, dapat dikatakan bahwa anak tunarungu ialah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran.
Gangguan mendengar yang dialami anak tunarungu menyebabkan terhambatnya perkembangan bahasa anak. Padahal perkembangan bahasa sangat penting untuk berkomunikasi dengan orang lain yang membutuhkan artikulasi atau ucapan yang jelas sehingga pesan yang akan disampaikan dapat diterima dengan baik. Sekelompok mahasiswa UNY yaitu Sinta Munika dan Sri Nasyiah dari Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Ubaidurrosyid Al Huda dari Prodi Pendidikan Seni Musik FBS serta Luthfi Dyah Ayu W dari Prodi Pendidikan Luar Biasa Fakultas Ilmu Pendidikan menggagas media untuk menambah kosakata pada anak tunarungu yaitu menggunakan musikalisasi puisi. Sinta Munika mengatakan bahwa mereka memilih untuk menggunakan musikalisasi puisi sebagai media untuk menambah kosakata pada anak tunarungu sekaligus untuk meningkatkan nilai-nilai kehidupan.
“Karena pada dasarnya anak tunarungu mengalami kesulitan bersosialisasi dengan masyarakat di dalam kehidupan sehari-hari diakibatkan rasa malu dengan keadaan pada dirinya” ungkap Sinta. Perpaduan dua aliran seni tersebut dapat memunculkan suatu pemaknaan yang mendalam. Adapun pemilihan puisi dengan tema kehidupan, semangat, dan religius untuk meningkatkan nilai-nilai kehidupan pada anak tersebut. Diharapkan ketika mereka berlatih mengucapkan kata tersebut, mereka dapat memaknai isi puisi tersebut dan dapat mengaplikasikannya di dalam kehidupan sehari-hari.
Kegiatan musikalisasi puisi ini dilaksanakan di SLB Bina Widya, Bantul, Yogyakarta selama 4 bulan. Menurut Luthfi Dyah Ayu W, pelatihan ini menggunakan metode ceramah, metode demonstrasi, praktik, dan pentas. “Metode ceramah dengan memberikan penjelasan dan demontrasi dengan memberi contoh membaca dan ekspresi dalam membaca puisi” kata Luthfi. “Sedangkan prakteknya menggunakan latihan vokal dan membaca puisi secara berulang-ulang agar kemampuan berbicaranya lebih jelas.”
Pelatihan ini juga dapat meminimalkan penggunaan bahasa isyarat. Anak tunarungu memiliki kebiasaan menggunakan bahasa isyarat ketika berkomunikasi dengan orang lain. Dalam pelatihan ini, anak dituntut untuk mengucapkan sebuah kata dalam membaca puisi. Padahal anak lebih terbiasa untuk mengucapkan sebuah kata atau berbicara. Dengan demikian, kemampuan bicara yang dimiliki anak tunarungu dapat meningkat. Para mahasiswa tersebut juga menanamkan nilai-nilai kehidupan dengan pemilihan puisi-puisi yang bertemakan kehidupan berupa semangat dan religius. Pemilihan tema ini, agar anak dapat memaknai isi puisi yang mereka baca, dan tetap semangat menjalani kehidupan.
Pelatihan musikalisasi puisi ini terbukti dapat menambah kosakata yang dimiliki oleh anak tunarungu. Hal ini dapat diketahui dari hasil tes kosakata yang telah dilakukan. Mahasiswa FBS melakukan tes kosakata sebanyak dua kali, pretes dan postes. Hasil tes kosakata menunjukkan bahwa pelatihan musikalisasi puisi dapat meningkatkan atau menambah kosakata pada anak tunarungu. Ari Kusmiatun, M.Hum., dosen pembimbing program ini mengatakan bahwa musik dapat menimbulkan rangsang emosi positif pada anak dan puisi menjadi media berbahasa secara sederhana tapi mengandung makna yang dapat mempengaruhi kehidupan anak.
“Kami juga mengadakan pentas untuk menambah rasa percaya diri anak tunarungu” kata Ari Kusmiatun, M.Hum. Kegiatan musikalisasi puisi ini berhasil meraih dana Dikti dalam Program Kreativitas Mahasiswa Pengabdian Pada Masyarakat (PKMM) tahun 2014. (dedy)