Rintik-rintik air terjatuh dengan bebasnya dari atas cakrawala, Manila, Filipina, pada Selasa (5/8/2014) pagi. Bisingnya bunyi klakson kendaraan bermotor dan gerimis di kota metropolitan Filipina pagi itu tak meluruhkan penduduk pribumi dan pendatang untuk melakukan aktivitas keseharian demi melangsungkan kehidupan. Gedung-gedung pencakar langit pun membuktikan pada dunia: inilah salah satu kota besar ASEAN; dengan pelbagai investasi mancanegara guna menumbuhkan akar ekonomi kuat dan semangat masa depan. Genggaman modernitas Republik Filipina tercitra betul dari segi pertumbuhan ekonomi dan teknologi mutakhir yang mendominasi di berbagai sudut kota Manila. Pada sebuah persimpangan jalan 185 Salcedo St. Legaspi Village, Makati City, Philippines, tiga ratus meter arah timur terdapat gedung besar menghadap arah selatan. Kibaran bendera Sang Merah Putih di atas tiang tinggi terlihat jelas dari persimpangan tadi. Dari mobil van putih buatan Jepang yang bertuliskan De La Salle Dasmarińas University di bagian tubuhnya, kami—delapan delagasi UNY untuk mengikuti program pertukaran budaya dan Sit-In—takjub sekaligus bangga melihat kibaran bendera Indonesia itu. Sesampainya di depan gerbang, Mr. Richard, sang sopir dari kampus Lasalian, mempersilakan para mahasiswa UNY dan Dr.-Ing Satoto Endar Nayono, M.Eng., M.Sc. (Kepala KUIK, UNY) untuk bersiap menuju Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Manila, Filipina.
Ujaran selamat siang dari pegawai KBRI terujar dengan manisnya di depan lobi depan. Kami pun menunggu mendapatkan izin dari resepsionis KBRI. Akhirnya, sofa yang berbaris dengan rapi di sana menjadi tumpuan kelelahan kami beberapa menit. Sebelumnya, Pak Toto sudah berkomunikasi ke pihak KBRI untuk melakukan silaturahmi: antara UNY dengan Atase Pendidikan Indonesia di Manila. Jalinan komunikasi yang iktikadkan UNY itu tiada lain untuk menyambung persaudaraan sedarah dan setanah air Indonesia. Selang beberapa menit kemudian, sekretaris atase pendidikan mengajak kami untuk menuju ke ruang di lantai dua. Sebuah papan di depan ruang itu pun bertuliskan: “Dr. Ir. Paristiyanti Nurwardani, M.P., Atase Pendidikan KBRI Republik Indonesia.”
Sambutan hangat tercurah dari seorang Ibu yang dikenal baik oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Manila dengan sebutan Bu Paris. Ia menyambut kami di dalam kantornya. Tumpukan buku tertata rapi di almari belakang meja kerja. Beberapa koleksi buku ceritera anak dan jurnal pun terlihat jelas. Di sebelah almari itu terdapat pula berbagai penghargaan atau kenang-kenangan yang barangkali datang dari kolega atau pejabat penting. “Silakan, nastar dan makanan Idul Fitri di atas meja ini dicoba lho,” ujar Bu Paris dengan ramahnya.
Pak Toto mengawali silaturahmi saat itu dengan perkenalan secara personal. Ujaran motivasi dari sang ibu atase pendidikan pun menjadi pengawal pembicaraan. Ia menjelaskan mengenai tantangan Indonesia ke depan sungguh berat. Apalagi Komunitas Ekonomi ASEAN tahun 2015 menjadi gerbang bagi negara-negara lingkup ASEAN untuk menunjukan eksistensi dan gaung ekonomi, pendidikan, budaya, dan sumber daya manusia tiap negaranya dalam konstelasi internasional. “Persoalan yang muncul sekarang adalah sudahkah mahasiswa Indonesia siap?,” ungkap Ibu yang juga berprofesi sebagai dosen di IPB itu. Ia mengapresiasi betul atas kehadiran mahsiswa Indonesia yang belajar dan membawa misi budaya ke mencanegara. Sebab, dengan itu, ungkapnya, Indonesia akan dikenal publik lebih baik lagi. Stereotip negatif di mata internasional hal ihwal bangsa Indonesia pun pada akhirnya akan berguguran. Di situlah letak pentingnya duta bangsa yang ke luar negeri.
“KBRI ini berguna pula sebagai rumah Indonesia ke dua di luar negeri. Semua warga Indonesia yang di Filipina wajib kami lindungi tanpa memandang suku, ras, dan agama apa pun. Saya pun menjadi Ibu dari para mahasiswa Indonesia yang melanjutkan studi di Filipina,” ungkapnya dengan sedikit candaan. Bu Paris memaparkan juga tentang kemampuan berbahasa Inggris warga Filipina sungguh baik. Hal itu disebabkan karena sistem pendidikan di Filipina mewajibkan peserta didik untuk belajar bahasa Inggris sejak bangku pra pendidikan dasar: Nursey (3-4 tahun). “Di sini (baca: Filipina), pendidikan di arahkan bersifat informal: play-based dan activity-oriented. Porsi pendidikan karakter pun terspesifikan pada aspek nasionalis, sikap jujur, dan cinta kasih terhadap Tuhan melalui kondisi alam,” paparnya.
Karena Bu Paris membidangi persoalan pendidikan di KBRI, ia pun tak asing dengan atmosfir pendidikan di Filipina. Ia melanjutkan pembicaraan pada siang menjelang sore itu mengenai pendidikan dasar (Paaralang Elementary). Di Filipina, pendidikan dasar diselenggarakan secara “cuma-cuma”—gratis pembiayaannya—dengan waktu enam tahun: tingkat tiga pertama disebut tingkat primer dan tingkat tiga kedua disebut intermediate. Namun, beberapa sekolah ada yang menambahkan satu tingkat di tingkat tujuh. Di akhir semester, siswa wajib mengikuti ujian akhir sebagai proyek penyetaraan nasional. Namun, hasil dari ujian itu tak digunakan sebagai patokan untuk masuk secondary school. Ujian tersebut dinamakan National Achievement Test (NAT).
Pada pendidikan menengah di Filipina (Paaralang Sekundarya), sekolah menengah milik pemerintah itu diselenggarakan secara gratis selama empat tahun (usia 12-16 tahun). Ada empat level dalam pendidikan menengah: Freshman, Sophmore, Junior, dan Senior. Level tersebut diadopsi dari sistem pendidikan menengah di Amerika Serikat. Selain itu, untuk pendidikan tinggi di Filipina dibagi menjadi tiga level: bachelor, master, dan doctoral. Khusus mahasiswa yang hendak menjadi guru, tingkatan menuju predikat “guru” di Filipina tak mudah didapatkan begitu saja. Sebab, calon guru wajib menempuh studi selama empat tahun untuk mendapatkan gelar bachelor of prmary education atau bachelor of secondary education. Untuk mendapatkan sertifikat pengajar, lulusan jurusan pendidikan guru wajib lulus Licensure for Teacher (LET). Sedangkan bagi lulusan non-kependidikan harus mengikuti 18-unit certificate of professional education supaya bisa mengajar di sekolah.
Pertemuan singkat dengan Bu Paris saat itu begitu luar biasa. Sesosok ibu dengan semangat demi memajukan Indonesia melalui jalan pengabdiannya di Atase Pendidikan KBRI itu sungguh patuh diteladani. Persoalan pendidikan Filipina dari beberapa tingkatan pun tak luput dari ujarannya dalam memotivasi para mahasiswa yang mengenakan jas biru kebanggaan UNY. Tanpa disadari oleh kami, gerimis di luar telah reda. Van putih sudah siap di luar gerbang. “Kota Cavite, Dasmarińas, kami pun menujumu kembali,” ungkapku di dalam hati. (Rony)