Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta kembali meluluskan mahasiswa program doktoralnya. Syamsul Ma’arif, M.Ag. (40 tahun), pria kelahiran Grobogan yang juga penulis buku produktif ini, berhasil memperoleh gelar doktor bidang Ilmu Pendidikan, setelah mempertahankan karya disertasinya yang berjudul ”Pesantren Inklusif Berbasis Kearifan Lokal: Studi Etnografi Pesantren Tebuireng Jombang”, bertempat di Aula PPs UNY, Jumat, 24 Juli 2014.
Bapak yang humoris ini, keseharian berprofesi sebagai dosen di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Walisongo Semarang. Ia juga aktif sebagai Direktur Need’S (Never Ending Education Society), komunitas penggiat pendidikan di Semarang. Hingga saat ini ia juga sebagai Pimred Nadwa (Jurnal Pendidikan Islam) Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo.
Di awal presentasinya, promovendus mengemukakan bahwa modernisasi sejak kelahirannya hingga kini, di samping telah memberi dampak positif bagi perkembangan masyarakat menuju tatanan masyarakat yang civilized, juga meninggalkan sejumlah warisan masalah yang tidak mudah untuk diatasi. Masalah tersebut antara lain fenomena budaya dengan tren no-limited dan meningkatnya individualisme. Masyarakat modern lebih memilih gaya hidup bebas daripada harus terikat oleh sebuah moralitas agama.
Lebih lanjut, promovendus menambahkan persoalan kekerasan berbaju agama harus segera dicari jalan keluarnya. Salah satunya adalah melalui pendidikan di pesantren untuk melahirkan “generasi inklusif”.
Dalam karya disertasinya, penelitian ini bertujuan untuk mengerti akar, dinamika, dan inspirator inklusivisme Pesantren Tebuireng; mengungkap filosofi dan paradigma pesantren inklusif berbasis budaya dan kearifan lokal di Pesantren Tebuireng; mengetahui nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang dikembangkan dan ditransmisikan Pesantren Tebuireng kepada santri/masyarakat; mengidentifikasi berbagai usaha yang dilakukan pesantren inklusif berbasis budaya dan kearifan lokal dalam melakukan modernisasi dan membangun harmoni; dan memahami langkah-langkah pesantren inklusif berbasis budaya dan kearifan lokal dalam mengeliminasi kekerasan dan konflik agama.
Di hadapan tim penguji antara lain: Prof. Dr. Endang Nurhayati, Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M.Ag., Prof. Dr. Djoko Suryo (promotor merangkap penguji), Prof. Dr. Achmad Dardiri, M.Hum. (promotor merangkap penguji), Dr. Dwi Siswoyo, M.Hum., dan Prof. Dr. Zuhdan Kun Prasetyo, M.Ed., lebih jauh promovendus memaparkan bahwa penelitiannya merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografi dan metode thick description. Waktu penelitian dilaksanakan pada tahun 2012—2014 dan tempat penelitian ini adalah Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.
Teknik pengumpulan datanya didasarkan pada teknik alur penelitian maju bertahap. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah: (1) teknik observasi-partisipan; (2) teknik interview; dan (3) teknik dokumentasi. Teknik triangulasi digunakan untuk memperoleh derajat kepercayaan dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sementara teknik analisis data yang digunakan adalah analisis domain dengan bantuan filsafat analisis.
Menurut promovendus, dari analisis penelitian disertasinya ini, dapat disimpulkan bahwa akar dan inspirator inklusivisme Pesantren Tebuireng berasal dari ajaran Mbah Hasyim Asy’ari, kemudian dilanjutkan oleh para pengasuh Pesantren Tebuireng dengan berbagai dinamikanya. Filosofi dan paradigma pesantren inklusif Tebuireng adalah al-muhafazhatu ‘ala al-qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah. Nilai budaya dan kearifan lokal yang ditransmisikan Pesantren Tebuireng adalah memperkuat sillaturrahim dan mencairkan eksklusifisme, mensosialisasikan tasamuh dan membangun harmoni, ukhuwwah dan solidaritas kemanusiaan, ta’awun dan kepedulian sosial, dan jujur serta ikhlas.
Nilai dan budaya tersebut ditransmisikan kepada para santri/masyarakat melalui berbagai model, di antaranya: (1) oral history; (2) pengajaran kitab kuning; dan (3) memperkenalkan nilai-nilai toleransi dan sikap penghormatan dengan agama lain melalui integrasi pada kurikulum/hidden curriculum dan berbagai program sekolah/pesantren. Berbagai usaha “modernisasi” yang dilakukan Tebuireng adalah membentuk sekolah formal, pendidikan buat wanita, strategi/metode pembelajaran aktif, penerapan manajemen modern, pendirian perpustakaan dengan berbagai sumber dan berbahasa Arab/Inggris, sarana dan prasarana modern serta bekerjasama dengan berbagai lembaga.
Selain itu, untuk membangun harmoni dan mengeliminasi konflik, Tebuireng membentuk lima karakter yang digali dari pemikiran Mbah Hasyim Asy’ari, terutama sekali melalui konsep tasamuh, semangat cinta tanah air/nasionalisme, dan patriotisme. Sementara langkah-langkah yang digunakan dalam mengeliminasi konflik di antaranya adalah senantiasa mendorong para santri untuk ikut menyikapi masalah-masalah aktual seperti penistaan agama yang selalu berakhir kekerasan. Meskipun begitu, terdapat beberapa kelemahan penelitian ini, di antaranya peneliti tidak secara detail dan komprehensif mengeksplorasi seluruh budaya dan nilai-nilai kearifan lokal Pesantren Tebuireng.
Salah satu rekomendasi untuk penelitian selanjutnya adalah perlu secara detail dan komprehensif mengeksplorasi seluruh budaya dan nilai-nilai kearifan lokal Pesantren Tebuireng serta menfokuskan implementasinya pada masing-masing unit pendidikannya. Demikian papar Syamsul Ma’arif.
Oleh Tim Penguji, promovendus dinilai dapat mempertahankan hasil penelitiannya dengan sangat baik. Dengan demikian, promovendus dinyatakan lulus dengan predikat Dengan Pujian/Cumlaude dengan masa studi relatif singkat yaitu 35 bulan. Dr. Syamsul Ma’arif, M.Ag. berhasil meraih gelar doktor dalam Ilmu Pendidikan yang ke-233 di PPs UNY dan ke-31 pada Prodi IP. (Rb)