Kebanggaan terhadap kebudayaan lokal atau local wisdom tidak berarti membuat kita hanya berkutat dalam ‘tempurung’ sendiri. Membuka jaringan keluar menjadi penting tidak hanya sebagai upaya membuka wawasan global tapi juga sebagai sarana memperkenalkan budaya lokal kepada bangsa-bangsa lain. Hal ini direalisasikan oleh Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) dengan mengadakan The 1stInternational Conference for Arst and Arts Education on Indonesia (ICAAE). Agenda ini dibuka oleh Rektor Universitas Negeri Yogyakarta pada hari Rabu (5/3/2014) di ruang Seminar PLA FBS UNY. Acara pembukaan juga dimeriahkan dengan sajian tari Pudiastuti oleh tiga mahasiswi Jurusan Seni Tari FBS.
Konferensi yang diikuti oleh 200 orang dosen, guru, dan mahasiswa dari dalam dan luar negeri tersebut dibuka oleh Rektor UNY, Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A. Dalam sambutannya Rektor mengapresiasi pentingnya konferensi ini karena peserta dapat berbagi pengalaman dan ide sebanyak-banyaknya. “Ini merupakan konferensi pertama dalam bidang seni di UNY” kata Rektor. “Seni itu indah dan Tuhan suka akan keindahan.”
Rektor juga mengemukakan pentingnya kreativitas dalam bidang seni karena pada dasarnya tidak ada manusia yang tidak kreatif. ICAAE 2014 bertema “Rethinking The Human Dignity and Nation Identity: A Review Perspective of Arts and Arts Education”. Ketua ICAAE 2014, Dr. Kasiyan, M.Hum. mengatakan bahwa konferensi yang dilaksanakan dalam rangka dies natalis UNY ke-50 tersebut dihelat selama 2 hari dengan pembicara dari dalam dan luar negeri, di antaranya Prof. Dr. Kanchana Witchayapakorn dan Todsapon Suranakkarin dari Faculty of Humanities Naresuan University, Thailand serta Dr. Goh Beng Lan dari Department of Southeast Asian Studies National University of Singapore.
Selain pembicara tersebut, pembicara lainnya adalah Rudi Corens dari Museum ‘KolongTangga’, Prof. Dr. F.X. Mudji Sutrisno, SJ dari Driyarkarya School of Philosopy Jakarta, Prof. Dr. Ign. Bambang Sugiharto dari Universitas Pahariyangan Bandung, dan Prof. Dr. Suminto A. Sayuti dari UNY.
Dalam paparannya, Prof. Dr. FX Mudji Sutrisno, SJ dari Driyarkara School of Philosophy Jakarta menyatakan kalau kata humanis lebih dahulu populer dan lazim dipakai daripada humanisme karena pada abad ke-14 di Italia, para sarjana pemikir Renaissance sudah mempopulerkannya, lalu sebagai aliran diteruskan ke Eropa sampai abad ke-16. Sarjana-sarjana humanis Italia ini menggali dan mengkreasi lagi inspirasi-inspirasi budaya Romawi dan Yunani. Kemudian humanisme dalam sejarah kebudayaan berkat perubahan-perubahan besar dalam sejarah pemikiran mampu merumuskan keprihatinan-keprihatinan pokoknya mengenai nilai kemartabatan manusia yang memuncak pada tahun 1948 di Paris dalam piagam sedunia Hak-hak Azasi Manusia.
Lebih lanjut Prof. Dr. FX Mudji Sutrisno, SJ menjelaskan bahwa humanisme sebagai paradigma pikiran yang memperjuangkan dihormatinya manusia dengan harkat dan martabatnya serta menempatkan manusia sebagai pusat perjuangan pembudayaan dan peradaban, dalam sejarah pemikiran harus diletakkan dalam evolusi pemikiran. “Artinya, humanisme merupakan tahap dimulainya paradigma pusat manusia setelah alam pikiran Yunani kuno dan peradaban barat beranjak dari tahap evolusi,” kata Prof. Dr. FX Mudji Sutrisno, SJ. Menurutnya, begitu tahap kosmosentris diselesaikan, orang lalu melanjutkan penghayatan hidup dan paradigma pikirannya dengan memusatkan diri pada Yang Illahi atau pada Abad Pertengahan. “Dalam tahap ini, semesta dihayati sebagai buah karya Tuhan yang semuanya mendapatkan maknanya dalam Tuhan yang menjadi pusat,” ujarnya.
Prof. Dr. Suminto A. Sayuti dari Fakultas Bahasa dan Seni UNY memaparkan bahwa jagat artistik seorang seniman ditentukan oleh sejumlah hal, di antaranya jagat yang mengkondisikannya, sangkan-paran sosial yang bisa dilacak, pandangan yang diyakini, dan partikularitas diri yang terwujud secara idiosinkratik. “Teks-teks seni modern, baik yang berupa sastra, lukisan, repertoar, musik, maupun tari, pada dasarnya selalu bersifat paradoksal,” kata Prof. Dr. Suminto A. Sayuti. “Yaitu berkembang dalam transisi dari tradisi budaya lisan yang komunal ke budaya tulis yang personal”.
Menurutnya, situasi semacam itu akan makin mengedepan tatkala diletakkan dalam perspektif perubahan yang terjadi begitu cepat akibat globalisasi dan pencanggihan teknologi. Lebih lanjut, guru besar sastra Indonesia FBS UNY tersebut mengatakan bahwa teks-teks seni pada hakikatnya merupakan perwujudan gugusan gagasan yang bersifat terikat budaya (culture-bound), yakni secara langsung diderivasikan dari dan dalam konteks kehidupan nyata. “Titik berangkat atau sangkan-paran sosial budaya seniman modern kita adalah masyarakat tradisional yang diarahkan oleh seperangkat gagasan dan nilai kultural yang berbeda dengan tema kultural masyarakat industrial-global,” katanya.
Konsekuensinya, penerimaan salah satu gagasan akan mengarahkan penolakan terhadap yang lain, dan realisasi penolakan tersebut bisa saja menuntut penerimaan yang berikutnya. Gagasan atau nilai budaya yang berbeda bisa saja saling melengkapi, tetapi bisa juga saling berlawanan.
Konferensi ini tidak hanya membahas seni secara umum, namun juga mengupas tentang penerapan pendidikan seni di Indonesia. Sebagai bagian dari peringatan Tahun Emas UNY, konferensi ini berlangsung hingga hari Kamis (6/3/2014) dalam beberapa sesi seminar. (Dedy dan D. Wulandari)