Tidak mudah menempuh jalan ke SDK Wolowusu. Perjalanan ditempuh menggunakan perahu motor. Banyak faktor yang mempengaruhi kelancaran perjalanan, misalnya cuaca yang tak menentu sehingga terkadang ombak laut mengalami pasang surut. Selain itu juga pengaruh banyak sedikitnya penumpang. Setelah menyisiri laut Sawu dengan transportasi perahu motor selama kurang lebih 3 jam, perjalanaan dilanjutkan dengan berjalan kaki mendaki perbukitan sejauh 5 km. Tak ada transportasi dan jalan yang memadai sehingga satu-satunya akses menuju lokasi hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki.
Jalan kaki mendaki bukit di terik matahari, di tengah-tengah hutan dan memikul barang-barang logistik sebagai kebutuhan makan sehari-hari merupakan pekerjaan yang sangat melelahkan sehingga tak jarang berjalan kaki beberapa meter lalu istirahat sejenak mengumpulkan tenaga. Di sini tak ada satu pun pertokoan, bahkan klinik kesehatan ataupun puskesmas juga tak ada. Kalau saya jatuh sakit, hanya bisa bertahan dengan persediaan obat-obatan yang ada. Sebenarnya ada jalan darat dari Ende ke Wolowusu menggunakan bis kayu. Namun jika memilih menempuh jalur darat, perjalanan harus ditempuh dengan jalan kaki dulu sejauh 7 km menuju kampung Ngaluroga.
Di kampung tersebutlah saya biasa menunggu oto yang tiba sekitar pukul 15.00 WITA dan tiba di Ende pukul 21.00 WITA. Jalur darat ini biasa saya tempuh ketika tidak memungkinkan untuk menggunakan jalur laut karena ombak laut besar atau saat motor laut tidak berangkat karena tidak adanya penumpang.
Inilah kisah Koko Triantoro, S.Pd., guru SM3T UNY yang tinggal di Desa Nila Kec. Ndona Kab. Ende, Nusa Tenggara Timur. Menurutnya, tinggal di desa ini penuh keterbatasan karena tidak ada listrik, jaringan seluler, kelangkaan air untuk musim tertentu, dan tidak adanya transportasi.
Di desa ini hanya ada 7 kepala keluarga yang terdiri dari 17 jiwa. Rumah yang hanya berdinding bambu, beratap ilalang dan berukuran tak lebih dari 5 meter persegi terpaksa meraka gunakan untuk menjalani dan mengarungi kehidupan mereka. “Masyarakat secara keseluruhan adalah masyarakat miskin, tanah yang tandus serta hama kera dan babi harus memaksa masyarakat untuk berhenti berkebun,” kata Koko. “Tak ada penghasilan yang bisa diandalkan, hanya sebagian yang memiliki keterampilan untuk membuat kain tenun ikat dan mengayam tikar saja yang dapat memberikan penghasilan sedikit kepada mereka.”
Alumni Prodi Pendidikan IPA FMIPA UNY tersebut ditempatkan di SDK Wolowusu Desa Nila. Kec. Ndona Kab. Ende, Nusa Tenggara Timur. Di sinilah tempat satu-satunya untuk mereka masyarakat Wolowusu dan sekitarnya menitipkan masa depan putra-putrinya. Walaupun jumlah murid dan tenaga pendidik yang sangat terbatas, namun proses pendidikan di SDK Wolowusu ini dapat berlangsung hingga saat ini, meskipun sejatinya banyak sekali kendala yang dialami.
SDK Wolowusu hanya terdiri dari 31 siswa dengan 4 kelas untuk tahun ajaran 2012/2013, dan mengalami peningkatan pada tahun ajaran baru menjadi 40 siswa dengan 5 kelas pada tahun ajaran 2013/2014. Kelas yang ada saat ini adalah kelas I jumlah 9 siswa, kelas II jumlah 5 siswa, kelas III jumlah 7 siswa, kelas V jumlah 13 siswa dan kelas VI jumlah 6 siswa. Jumlah guru sampai saat ini sebanyak 3 orang, 2 guru status PNS masing-masing merangkap sebagai kepala sekolah dan bendahara, sedangkan 1 guru lainnya adalah berstatus guru Honorer GTT.
“Pembelajaran rangkap kelas merupakan kebiasaan dan keharusan yang setiap hari saya lakukan” kata Koko. “Hal ini terjadi karena tenaga pendidik yang ada sangatlah terbatas.” Kegiatan lainnya adalah menerapkan rasa memiliki rasa tanggung jawab menjaga kebersihan lingkungan sekolah dan menjaga kerapian serta kebersihan diri sendiri untuk menjaga kesehatan tubuh.
Kebiasan buruk siswa adalah berangkat kesekolah tanpa menggunakan sepatu dan tidak mandi pagi saat berangkat ke sekolah. Namun kebiasaan tersebut saat ini mulai sedikit sirna meskipun tidak bisa dihilangkan secara menyeluruh. Keberadaan medan yang sangat jauh, jalan kaki mendaki perbukitan menjadikan alasan bagi siswa untuk enggan menggunakan sepatu, sementara siswa menjadi malas untuk melakukan mandi pagi karena terkadang kelangkaan air dan keadaan suhu yang sangat dingin saat pagi hari.
“Pengalaman yang hanya satu tahun ini menginspirasi saya seumur hidup,” kata Koko. “Mengajari, mendidik menjadi lebih dewasa dan kuat menghadapi segala macam kehidupan yang ada.” (dedy)