Quantcast
Channel: Universitas Negeri Yogyakarta - Leading in Character Education
Viewing all articles
Browse latest Browse all 3541

UNIKNYA HIDUP DI UJUNG NEGERI

$
0
0

“Pendidikan yang dialami anak-anak di daerah terpencil sangatlah berbeda jauh dengan anak-anak di perkotaan. Minimnya guru bidang studi, jauhnya jarak rumah ke sekolah, fasilitas sekolah yang kurang memadai dan mungkin masih banyak masalah yang lainnya. Namun itu semua tidak mengurangi semangat anak-anak ujung negeri ini untuk menuntut ilmu. SMP Negeri 1 Tripe Jaya tempat saya dan kedua teman saya mengajar yang letak sekolahnya benar-benar seperti di tengah-tengah hutan, jauh dari pemukiman warga. Sekolah yang sekaligus tempat tinggal saya, setiap hari setelah jam 12.30 siang suasana benar-benar sunyi dan akan kembali ramai oleh siswa-siswi saat pagi hari. Meskipun sekolahnya jauh tapi semangat para siswa yang sangat luar biasa membuat saya sangat terharu.”

Demikian dikisahkan Rinawati, salah satu guru SM3T Universitas Negeri Yogyakarta yang ditempatkan di Tripe Jaya, Gayu Lues, Aceh. Dia mengatakan bahwa anak-anak Trans Payakumer yang sebagian besar adalah penduduk Jawa yang bertransmigrasi ke Gayo Lues merupakan siswa yang jarak rumah ke sekolah paling jauh. “Mereka harus menempuh perjalanan menuju sekolah sekitar 3 jam lamanya dengan berjalan kaki” kata Rinawati.

Pagi-pagi setelah subuh para siswa tersebut saling menghampiri sesama teman dan bersama-sama berangkat sekolah melewati jalan yang masih gelap, sepanjang jalan hanya ada pepohonan hutan belantara. Namun itu semua tidak mematahkan semangat siswa-siswi melangkahkan kaki demi menuntut ilmu. Sungguh perjuangan yang sangat luar biasa untuk sebuah pendidikan.

Menurut alumni Prodi Pendidikan Biologi FKIP UNS Surakarta tersebut, minimnya guru merupakan salah satu kendala yang dialami di daerah terpencil di mana satu guru terkadang harus merangkap dua mata pelajaran. Inilah yang menyebabkan siswa-siswi kurang mendapatkan pelajaran dengan baik. “Saya kaget saat semester genap harus mengampu 3 mata pelajaran Biologi, Seni Budaya, dan Pendidikan Agama Islam” kata Rinawati. “Ditambah lagi memberi siswa kelas 3 SMP dan kelas 3 SMA, total kurang lebih 42 jam per minggu saya mengajar SMP dan SMA.” Karena minimnya guru, Rinawati berusaha sebaik mungkin untuk melaksanakan amanah tersebut. Belajar pada malam hari dan pagi hari disampaikan pada siswa. Terkadang belajar di luar kelas pun bukanlah masalah bagi anak-anak, tetap semangat belajar menjelang ujian nasional.

Saat masih tinggal di Jawa, warga Jengglong, Wonorejo, Jatiyoso, Karanganyar tersebut tidak merasakan kesulitan dalam berkomunikasi karena sinyal, namun di Tripe Jaya masalah sinyal susah itu sudah menjadi hal biasa. Untuk mendapatkan sinyal, ponsel dititipkan di rumah di atas bukit dan digantungkan di papan rumah bagian atas. Setelahbeberapa bulan sinyal mulai membaik dan mudah didapatkan di setiap sudut ruangan atau di jendela-jendela. Tapi masalah baru datang, sumber air satu-satunya yang mengalir ke sekolah rusak karena tertimbun tanah.

Alhasil, setiap hari Rinawati dan guru SM3T lainnya harus melakukan aktivitas mandi dan mencuci di sungai. Guru SM3T laki-laki bertugas menimba air dari sungai untuk digunakan wudhu dan keperluan harian. Jarak sungai dari sekolah cukup jauh dan memerlukan waktu sekitar 10-15 menit untuk menuju sumber air. Bisa menjalani dan melewati dengan baik proses hidup seperti ini adalah kenangan yang tak terlupakan, terasa unik dan menyenangkan meskipun terkadang mengeluh dengan keadaan.

“Di ujung negeri ini banyak pengalaman yang sangat indah mulai dari para murid, orang-orang sekitar dan keadaan alamnya yang unik,” tutup Rinawati. (dedy)

Label Berita: 

Viewing all articles
Browse latest Browse all 3541

Trending Articles