Sebanyak 316 peserta Seminar Nasional (Semnas) dengan tajuk “Respons Kebijakan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam Kurikulum 2013” memenuhi Auditorium UNY pada Selasa (19/11/2013). Semnas yang diselenggarakan oleh Jursuan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (JPBSI), FBS, UNY, ini mendapatkan respons positif dari praktisi pendidikan: guru, dosen, dan mahasiswa seluruh Indonesia. Semnas tersebut dibersamai oleh lima pemakalah utama yakni: Dr. (Hc) Taufik Ismail (Sastrawan Nasional), Prof. Dr. Suminto A. Sayuti (Guru Besar UNY), Prof. Dr. Sarwiji Suwandi (Guru Besar UNS), Prof. Dr. Djoko Saryono (Guru Besar Univ. Negeri Malang), dan Prof. Dr. Zamzani (Dekan FBS UNY).
Menyoal kebijakan Kurikulum 2013, Suminto menghimbau para guru dan praktisi pendidikan agar tak perlu risau. “Sudah saatnya pembelajaran sastra (dalam Kurikulum 2013) tak perlu dirisaukan. Kita mesti mendekonstruksi Kurikulum 2013 ini menjadi pembelajaran sastra yang menyenangkan,” papar Suminto yang dikenal sebagai sastrawan dan budayawan nasional ini. Sudah barang tentu kebijakan yang mengatasnamakan kolektivitas –seperti Kurikulum 2013—akan menuai pro dan kontra.
Semenjak kebijakan Kurikulum 2013 (khususnya bahasa Indonesia) ini “diketok-palu” oleh Mendikbud, para guru dan praktisi pendidikan “kocar-kacir” kurang siap mengemban implementasi kurikulum baru itu. Oleh karenanya, Zamzani berpendapat agar kebijakan baru itu disikapi secara intelektual. “Sebagai akademikus, kita perlu menyikapi kebijakan negara secara intelektual. Selain itu, mari kita jalankan amanah negara agar tujuan nasional pendidikan terwujud dengan baik,” tuturnya.
Taufik Ismail lebih menekankan pada aspek pembelajaran sastra secara menyenangkan. Selain itu, ia membandingkan kemampuan literasi bangsa Indonesia yang ironis –apabila dibandingkan dengan negara lain. “Dalam penelitian pribadi, jumlah buku wajib baca pada siswa SMA di Indonesia adalah 0 buku. Sedangkan, negara tertinggi literasinya adalah Amerika Serikat, dengan jumlah 32 buku,” tegasnya. Hal demikianlah yang menjadi sebab-musabab keterpurukan serta ketertinggalan bangsa Indonesia.
Padahal, bangsa yang besar adalah bangsa yang multi-literasi. “Kita perlu pembelajaran bahasa Indonesia yang lebih menyenangkan dan merindukan, sehingga ketika pelajaran bahasa Indonesia, siswa dapat antusias belajar dengan baik,” ujarnya. “Kita perlu meniru bangsa Rusia yang sejak dini telah mencintai sastra. Di sana, siswa SMA sudah membaca buku –500 halaman lebih— karangan sastrawan Rusia terkenal, yaitu Leo Tolstoy,” tambahnya. Semoga implementasi Kurikulum 2013 (khususnya bahasa Indonesia) dapat menumbuhkan kecintaan akan bahasa Indonesia, dan juga sastra. Sebab, sastra kaya akan “pendidikan karakter”, sehingga membuat pembacanya berbudi luhur. (Rony)