Quantcast
Channel: Universitas Negeri Yogyakarta - Leading in Character Education
Viewing all articles
Browse latest Browse all 3541

PENGALAMAN MENGAJAR DI MALAYSIA

$
0
0

Isu  “perampasan budaya” yang dilakukan oleh Malaysia terhadap berbagai produk budaya Indonesia awalnya membuat saya sangat berhati-hati mempersiapkan materi ajar Seni Visual di SMK Kulai Besar, Malaysia. Bagaimapun, isu tersebut sangat sensitif. Pengakuan beberapa produk budaya di antaranya Reog dan lagu Rasa Sayange sebagai lagu asli Malaysia telah memicu kemarahan bangsa Indonesia. Menjadi serba rikuh ketika saya harus mengajar materi-materi tentang budaya (misal: batik) dalam kondisi sensitif tersebut. Tentu saja saya tidak mau kedatangan saya sebagai cikgu pelatih  malah menambah runcing permasalahan walaupun dalam lingkup kecil di sekolah yang menjadi lokasi PPL saya.

Sejak awal kedatangan pada tanggal 26 Juni 2013 hingga kepulangan tanggal 29 Juli 2013, saya banyak menemukan hal-hal yang menarik dari kebudayaan Malaysia. Penduduk negara ini terdiri dari 3 kelompok besar: Melayu, Cina, dan India. Di samping itu ada kelompok orang asli namun hanya minoritas. Masing-masing kelompok masih memegang erat tradisinya. Budaya kedaerahan masih sangat kental. Misalnya saja soal bahasa, saya terbiasa mendengar orang-orang berbahasa Cina dan Tamil (India). Di banding gaya hidup Indonesia saat ini yang notabene homogen, satu sekolah saja di Malaysia sudah cukup menampakan 3 gaya hidup yang kontras, entah itu cara berpakaian maupun lainnya. Berada di satu sekolah, seolah sedang Cross Culture Understanding tiga negara: India, Cina, dan Indonesia.

Indonesia? Ya. Kelompok yang bahasanya dijadikan bahasa wajib selama proses belajar-mengajar itu bagi saya tak ada bedanya dengan Indonesia. Bertemu dengan orang-orang Melayu sama saja dengan pulang kampung ke Sumatera, tanah kelahiran saya. Nyaris tidak ada perbedaan.

Meski sudah berusaha menghindari diskusi rawan tentang isu ‘Perampasan Budaya’, beruntung, saya malah diajak duluan oleh beberapa orang, salah satunya Penolong Kanan (Wakil Kepala Sekolah) SMK Kulai Besar. Beliau mengeluhkan kenapa orang Indonesia bersikap negatif terhadap Malaysia. Lalu beliau menceritakan tentang asal-usul keluarganya yang berasal dari Jawa. Memang benar, jika kita bertanya kepada warga Melayu tentang asal-usul, mereka pasti akan menjawab ‘nenek moyang saya berasal dari Indonesia’ (kebanyakan dari Sumatera, Kalimantan, dan Jawa), meski entah kakek buyut generasi keberapa. Lalu cerita melebar ke sejarah beratus tahun silam.

Kembali ke sejarah, memang Indonesia dan Malaysia merupakan tanah satu jiwa. Hanya saja di kemudian hari ada kesepakatan yang membuat Malaysia jatuh ke tangan Inggris dan Indonesia dikuasai Belanda. Sedangkan Inggris mendatangkan bangsa Cina dan Tamil untuk menjadi pekerja di Malaysia. Dengan perbedaan bentuk kolonialisme antara Inggris dan Belanda dalam tempo yang tidak singkat tentu telah membawa perubahan kepada masing-masing wilayah, namun karakter dan kebudayaan mendasar akan tetap ada. Maka, jangan terkejut jika ketika Anda mendapat kesempatan berjalan-jalan ke Malaysia Anda menemukan batik, kebaya, baju kurung, folklore, alat musik, makanan tradisional dan produk kebudayaan lain dari bangsa Melayu yang sama dengan Indonesia.

Memang untuk zaman yang serba asobiyah terhadap negara sendiri ini, di mana batas-batas teritorial sebuah wilayah menjadi sangat penting dan didukung sikap nasionalis yang kuat, pencatatan hak cipta (secara individu maupun negara) menjadi solusi terbaik. Namun, sikap bijak dari setiap individu yang mengaku mencintai budaya sangat diperlukan. Memahami sejarah masa lampau dan kondisi saat ini menjadi penting. Tentu kepahaman yang mendalam akan membuat seseorang bisa bersikap toleran secara benar dan tidak mudah terpancing emosi terhadap isu yang beredar. (D. Wulandari—mahasiswa Pendidikan Seni Rupa UNY 2010)

Label Berita: 

Viewing all articles
Browse latest Browse all 3541

Trending Articles