Quantcast
Channel: Universitas Negeri Yogyakarta - Leading in Character Education
Viewing all articles
Browse latest Browse all 3541

TELITI POLA PENDIDIKAN PESANTREN DAN RADIKALISME, ABDUL MALIK RAIH GELAR DOKTOR CUMLAUDE

$
0
0

Pendidikan pesantren secara umum, dikenal sebagai bentuk pendidikan tauhid/aqidah, AlQuran, Hadits, Fiqh, Ushil Fiqh, dan tata cara beribadah sesuai dengan tuntunan AlQuran dan Hadits. Sebagai budaya asli Indonesia, pesantren tumbuh dan berkembang dalam kultur keIndonesiaan yang terbuka dan toleran. Hal ini kemudian membentuk identitas dan tradisi pesantren menjadi lembaga pendidikan berbasis kearifan lokal, dimana nilai-nilai kesederhanaan, keterbukaan, dan kebersamaan dijunjung tinggi. Akan tetapi, seiring perkembangan jaman, pesantren telah banyak mengalami perubahan. Pola pendidikan pesantren yang sudah dikenal mapan dan berakar kuat dalam masyarakat, akhir – akhir ini justru mendapatkan stigma negatif dan bahkan perannya dipertanyakan kembali oleh sebagian masyarakat sejak meluasnya isu radikalisme dan terorisme di Tanah Air.

Melalui karya disertasinya, Abdul Malik dengan Prof. Dr. Ajat Sudrajat dan Prof. Dr. Farida Hanum selaku promotor melakukan penelitian pada dua pesantren di kota Bima. “Pola Pendidikan Pesantren dan Radikalisme” merupakan judul penelitian yang berhasil dipertahankan di depan tim penguji yang dipimpin langsung oleh Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., MA., pada hari Senin, 14 November 2016.

Dari penelitian tersebut, berhasil diungkap bahwa pola pendidikan indoktrinatif dan ekslusif yang diterapkan pada dua pesantren di kota Bima. “Di sana lebih menekankan pada pola pendidikan satu arah, dalam pengertian seorang ustad sebagai pusat dari proses pendidikan. Santri sebagai objek belajar, hanya take for granted apa yang diajarkan ustad, “ungkap dosen IAIN Mataram Lombok ini. “Sedangkan pola ekslusif dapat dilihat dari rujukan kurikulum yang dibatasi pada kitab ulama-ulama tertentu. Muatan kurikulum yang dimiliki pesantren ditentukan secara mandiri tidak mengikuti kurikulum pemerintah. Ideologi hanya bersandar pada pemahaman agama yang tertutup,” tambahnya.

Stigma negatif tentang radikalisme pada kedua pesantren di kota Bima disebabkan banyak faktor. Kasus terorisme rentang waktu 2011 sampai 2014, secara faktual kedua pesantren di Bima memiliki hubungan dengan kasus terorisme tersebut. Selain itu, mayoritas ustad dan pengelola dari kedua lembaga tersebut memiiki hubungan dengan organisasi Jama’ah Islamiyah (JI) yang ditengarai pemerintah maupun dunia sebagai organisasi Islam radikal.  “Pesantren hendaknya dijadikan mitra untuk deradikalisasi yang lebih persuasive dan menggunakan pendekatan soft approach melalui akses-akses edukatif. Upaya ini saya kira akan efektif menanggulangi meluasnya radikalisasi berkedok pendidikan,” tutup doktor ke 345 di Program Pascasarjana UNY ini.  (Rubiman).

 

 

Label Berita: 
Share/Save

Viewing all articles
Browse latest Browse all 3541

Trending Articles