Belum sempat makan malam, Asep Hiypan berjalan dalam gelap menuju rumah gurunya untuk belajar matematika. Dia merasa kesulitan mengerjakan PR yang diberikan gurunya di kelas. Siswa kelas 2 SMPN Satu Atap Kotaip, Distrik Oklib, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua tersebut sebenarnya ingin mengerjakan PR itu setelah sekolah, tapi ada kewajiban lain yang harus dia lakukan, yaitu membantu orangtuanya di kebun. Inilah salah satu perjuangan siswa di daerah terdepan terluar tertinggal Indonesia yang dikisahkan oleh Yogi Suwondo, guru SM3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan Terluar Tertinggal) UNY yang ditempatkan di Distrik Oklib Kabupaten Pegunungan Bintang Provinsi Papua. Menurut warga Legok Cangkrep Kidul Purworejo tersebut, setiap pulang sekolah Asep pergi ke kebun yang jaraknya cukup jauh dari perkampungan warga. Dia menggarap sebuah gunung yang dibabat untuk dijadikan kebun ubi. “Kegiatan yang dia lakukan adalah membersihkan dan menggarap lahan, menanaminya dengan ubi, mencabuti rumput sampai memanennya” kata Yogi “Ketika pekerjaan di kebun dirasa cukup dia dan orangtuanya kembali ke rumah”.
Alumni prodi PJKR FIK UNY tersebut mengisahkan bahwa di Distrik Oklip, listrik masih menjadi barang mewah dan langka bagi masyarakat. Jadi jika malam hari, masyarakat jarang yang dapat menikmati terangnya lampu, walaupun hanya satu saja. Hanya ada dua alat untuk menyalakan lampu, yaitu genset dan panel surya. Genset berbahan bakar bensin padahal harga bensin di distrik ini mencapai Rp 100.000 – Rp 150.000 per liter. Harga ini wajar karena untuk mendatangkan semua barang dari Jayapura harus menggunakan pesawat kecil dengan biaya carter sekitar Rp 33.000.000 sekali jalan. Selain itu ada panel surya yang hanya dimiliki beberapa rumah karena harganya yang juga mahal. “Walaupun begitu tidak membuat Asep dan teman-temannya kehilangan akal” kata Yogi “Mereka membeli lilin dan digunakan belajar bersama”. Semangat yang tinggi untuk menuntut ilmu tersebut menimbulkan keharuan para guru SM3T UNY disana, yaitu Dwi Septiana, Yayuk Widyastuti dan Suraban yang masing-masing mengajar Bahasa Inggris, Fisika dan Bahasa Indonesia. Alhasil siswa yang datang untuk meminta jam tambahan pelajaran saat petang bukan hanya Asep saja. Banyak lagi siswa yang mulai senang dan merasakan manfaat belajar berbondong-bondong datang ke rumah guru untuk belajar walaupun hanya dengan cahaya lilin.
Pria kelahiran Jambi 21 Oktober 1989 tersebut menuturkan bahwa sebenarnya siswa di sana tidak bodoh hanya nasibnya kurang beruntung karena minimnya fasilitas pendidikan. Masalah lain adalah kekurangan guru. Guru di Oklib sangat dihormati. Wilayah seperti tempat pengasingan, tanpa listrik, tanpa sinyal telepon, minim fasilitas kesehatan, transportasi yang hanya dengan pesawat dengan harga mahal, masyarakat yang hanya swasembada ubi, baju yang hanya seadanya, dan rumah juga seadanya membuat para guru lebih senang hidup di kota dengan segala fasilitas yang ada. Bahkan siswa yang tinggal di pedalaman harus berangkat sekolah setelah subuh dengan berjalan kaki dan sampai di rumah pada malam harinya. “Jika hujan mereka berteduh di bawah pohon karena jarang yang punya payung” kata Yogi “Walau siang hari sampai sekolah mereka tetap belajar, dan bajunya dimasukkan noken agar tidak kotor”. Noken adalah tas tradisional masyarakat Papua yang dibawa dengan menggunakan kepala dan terbuat dari serat kulit kayu. Menurut Yogi yang penting dari sebuah proses belajar mengajar adalah niat dan kemauannya. “Walau hanya dengan sebatang lilin, siswa Papua bisa lebih maju dan menjadi generasi penerus bangsa yang lebih berkualitas dengan pendidikan. Semoga listrik segera masuk distrik Oklib” tutup Yogi.(dedy)