Petruk makin menyadari siapa diri rakyat itu sebenarnya. Hanya rakyatlah yang dapat membantu penguasa untuk menuliskan sejarahnya. Itulah mengapa seharusnya penguasa menghargai kawula. Raja bukan lagi raja jika sudah ditinggalkan kawula. Siapa yang akan memangkunya agar bisa menduduki tahta kalau bukan rakyat?
Begitulah secuplik sinopsis “Petruk Dadi Ratu”, lakon wayang kulit yang dimainkan Ki Seno Nugroho. “Petruk Dadi Ratu” mengisahkan kesedihan Petruk mengingat gugurnya Abimanyu dalam Perang Baratayudha. Pagelaran wayang kulit tersebut merupakan salah satu rangkaian acara dies natalis UNY ke-49 yang digelar pada Sabtu, 18/5/2013.
Acara dibuka dengan prosesi penyerahan wayang kepada Ki Seno Nugroho oleh Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A. sebagai rektor UNY. Pagelaran dihadiri oleh jajaran pejabat universitas, mahasiswa FIP (pengurus HIMA dan mahasiswa peraih beasiswa bidikmisi), dosen, dan ratusan pengunjung yang memadati halaman Gedung Rektorat UNY. Mereka menyaksikan acara yang diharapkan mampu berkontribusi dalam pelestarian budaya. Wayangan ini juga disemarakkan oleh Panembromo dari ibu-ibu Dharma Wanita Persatuan UNY.
Beberapa tamu undangan ada yang berasal dari luar negeri, seperti Australia, New Zealand, dan Thailand karena pada hari itu bertepatan dengan diadakannya Seminar Internasional. Tidak hanya melestarikan budaya, pagelaran tersebut juga dapat menjadi salah satu upaya promosi budaya dan wisata, khususnya Yogyakarta. Pagelaran ini menghadirkan bintang tamu Dalijo, Gareng Rakasiwi, dan Ika Suryani.
Dalam sambutannya, Dr. Haryanto, M.Pd., selaku ketua panitia dies natalis UNY ke-49, menyampaikan hikmah yang bisa diambil dari lakon “Petruk Dadi Ratu”. Beliau mengungkapkan bahwa raja harus berkorban untuk rakyatnya. Raja dan rakyat harus wengkuh-winengkuh (saling memangku –red), rangkul-merangkul, seperti Abimanyu dan Petruk. Selain itu, Dr. Haryanto, M.Pd. juga mengatakan harapannya terhadap pagelaran tersebut. “Semoga tidak hanya menjadi tontonan tetapi juga tuntunan,” ungkapnya. (rima/ant)