Kita mengetahui bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawan dan kebudayannya. Terlepas dari itu semua, seiring perkembangan jaman, rasa cinta akan budaya dan sejarah kian luntur. Padahal dengan mencintai budaya dan sejarah, kita juga akan belajar bahwa betapa besar dan kuatnya bangsa ini.
Berangkat dari persoalan tersebut, diadakan kuliah umum mahasiswa Universiti Putra Malaysia (UPM) di ruang kelas A Kantor Urusan Internasional dan Kemitraan (KUIK) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) (18/01/16) dengan pembicara Rony K. Pratama. Diskusi sesi pertama bertemakan Indonesian from Youth Point of View, membahas tentang “Hari Depan Bangsa Indonesia di Tangan Intelektual Muda: Polemik Kebudayaan, Keniscayaan Identitas, dan Literasi”.
Intelektual muda di Indonesia dapat dikategorikan menjadi dua karakteristik, yang pertama memiliki pandangan progresif terhadap idealisme barat sebagai tujuan dan yang kedua membangun sikap dan pandangan progresifnya dengan berpijak pada nilai-nilai tradisional. Kedua karakteristik ini tidak lepas pula dengan sikap patriotik. Pada karakteristik yang pertama, meskipun pemuda memiliki pandangan progresif terhadap idealisme barat, namun ia mengambil hal-hal positif yang ada dan berusaha menerapkannya dengan harapan dapat memajukan bangsa ini tanpa terlepas dari budaya ketimuran yang dimiliki. Sedangkan pada karakteristik kedua, dengan berpijak pada nilai-nilai tradisional, pemuda berusaha membangun dan memajukan bangsa dengan nilai-nilai identitas etnisitas yang lebih primodial.
Sesuai dengan topik pada diskusi pertama, bahwa hari depan bangsa Indonesia juga dibangun berlandaskan pada kecerdasaan literasi. Namun sayangnya, hampir kebanyakan sumber-sumber literasi bangsa Indonesia ditulis oleh orang asing. Ditilik secara historis, nenek moyang bangsa Indonesia pada masa lampau telah mengajarkan dan membiasakan pendidikan sastra lisan. Hal tersebut kian lama menjadi suatu budaya yang mengakar dalam penyampaian gagasan secara lisan, sehingga minimnya sumber literasi yang ditulis oleh bangsa kita sendiri.
Diskusi sesi kedua dengan tema Indonesia-Malaysia in Asia membahas “Rekonsiliasi Kebudayaan Indonesia-Malaysia: Kolaborasi Bilateral di Tengah MEA”, dan dibuka dengan pembahasan secara singkat mengenai MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN). Kekhawatiran akan MEA pun tidak hanya dirasakan oleh para generasi muda bangsa Indonesia, akan tetapi juga generasi muda Malaysia. Semakin tingginya tingkat persaingan dalam dunia kerja, kekhawatiran akan masuknya orang asing yang nantinya menduduki berbagai sektor bidang pekerjaan menjadi momok tersendiri.
Terlepas dari itu semua, MEA pun juga dipandang memberikan sisi positif dalam memajukan dan meningkatkan kesejahterahan taraf hidup bangsa. Usaha dan kerja keras adalah kuncinya, selain tetap menjaga dan mencintai nilai-nilai kebudayaan serta kearifan lokal. Di akhir agenda, Rony pun berpesan“Think Globaly, Act Localy”. (Anggraeni Kumala Dewi)